Saturday, October 21, 2017

SISTEM PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT



SISTEM PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT

A.   Sejarah Pemberdayaan
Pemberdayaan adalah terjemahan dari empowerment, sedangkan memberdayakan adalah terjemahan dari empower. Menurut Merriam Webster dan Oxford English Dictionary, kata empower mengandung dua pengertian, yaitu: (1) to give power atau authority to atau memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain; (2) to give ability to atau enable atau usaha untuk memberi kemampuan atau keperdayaan.
Beberapa literatur menyebutkan, bahwa konsep pemberdayaan sudah lahir sejak revolusi industri atau ada juga yang menyebut sejak lahirnya Eropa modern pada abad 18 atau zaman renaissance, yaitu ketika orang mulai mempertanyakan determinisme keagamaan. Kalau pemberdayaan dipahami sebagai upaya untuk keluar atau melawan determinisme gereja serta monarki, maka pendapat bahwa gerakan pembedayaan mulai muncul pada abad pertengahan barangkali benar.
 Konsep pemberdayaan mulai menjadi diskursus pembangunan, ketika orang mulai mempertanyakan makna pembangunan. Di Eropa, wacana pemberdayaan muncul ketika industrialisasi menciptakan masyarakat penguasa faktor produksi dan masyarakat yang pekerja yang dikuasai. Di negara-negara sedang berkembang, wacana pemberdayaan muncul ketika pembangunan menimbulkan disinteraksi sosial, kesenjangan ekonomi, degradasi sumber daya alam, dan alienasi masyarakat dari faktor-faktor produksi oleh penguasa. [1]
Karena kekurang-tepatan pemahanan mengenai pemberdayaan, maka dalam wacana praktik pembangunan, pemberdayaan dipahami secara beragam. Yang paling umum adalah pemberdayaan disepadankan dengan partisipasi. Padahal keduanya mengandung pengertian dan spirit yang tidak sama.
B.   Konsep Pemberdayaan
Konsep pemberdayaan lahir sebagai antitesis terhadap model pembangunan dan model industrialisasi yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun dari kerangka logik sebagai berikut:
1.    Bahwa proses pemusatan kekuasan terbangun dari pemusatan penguasaan faktor produksi;
2.    Pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat yang pengusaha pinggiran;
3.    Kekuasaan akan membangun bangunan atas atau sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum, dan ideologi yang manipulatif untuk memperkuat dan legitimasi; dan
4.    Kooptasi sistem pengetahuan, sistem hukum, sistem politik, dan ideologi, secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya.[2]
Akhirnya yang terjadi adalah dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan manusia yang dikuasai. Untuk membebaskan situasi menguasai dan dikuasai, maka harus dilakukan pembebasan melalui proses pemberdayaan bagi yang dikuasai (empowerment of the powerless). Pengalaman empirik dan pengalaman historis dari format sosial ekonomi yang dikotomi ini telah melahirkan berbagai pandangan mengenai pemberdayaan.
Pandangan pertama, pemberdayaan adalah penghancuran kekuasaan atau power to nobody. Pandangan ini didasari oleh keyakinan, bahwa kekuasaan telah menterasingkan dan menghancurkan manusia dari eksistensinya. Oleh sebab itu untuk mengembalikan eksistensi manusia dan menyelamatkan manusia dari keterasingan dan penindasan, maka kekuasaan harus dihapuskan.
Pandangan kedua, pemberdayaan adalah pembagian kekuasaan kepada setiap orang (power to everybody). Pandangan ini didasarkan pada keyakinan, bahwa kekuasaan yang terpusat akan menimbulkan abuse dan cenderung mengalienasi hak normatif manusia yang tidak berkuasa atau yang dikuasi. Oleh sebab itu, kekuasaan harus didistribusikan ke semua orang, agar semua orang dapat mengaktualisasikan diri.
Pandangan ketiga, pemberdayaan adalah penguatan kepada yang lemah tanpa menghancurkan yang kuat. Pandangan ini adalah pandangan yang paling moderat dari dua pandangan lainnya. Pandangan ini adalah antitesis dari pandangan power to nobody dan pandangan power to everybody. Menurut pandangan ini, power to nobody adalah kemustahilan dan power to everybody adalah chaos dan anarki. Oleh sebab itu menurut pandangan ketiga, yang paling realistis adalah power to powerless.[3]
Ketiga pandangan tersebut di atas, kalau dikaji secara seksama, ternyata berpengaruh cukup signifikan dalam konsep dan praksis pemberdayaan.
Di lapangan, paling tidak ada 3 konsep pemberdayaan.
1.    Pemberdayaan yang hanya berkutat di ‘daun’ dan ‘ranting’ atau pemberdayaan konformis. Karena struktur sosial, struktur ekonomi, dan struktur ekonomi sudah dianggap given, maka pemberdayaan adalah usaha bagaimana masyarakat tunadaya harus menyesuaikan dengan yang sudah given tersebut. Bentuk aksi dari konsep ini merubah sikap mental masyarakat tunadaya dan pemberian santunan, seperti misalnya pemberian bantuan modal, pembangunan prasarana pendidikan, dan sejenisnya. Konsep ini sering disebut sebagai magical paradigm.
2.    Pemberdayaan yang hanya berkutat di ‘batang’ atau pemberdayaan reformis. Artinya, secara umum tatanan sosial, ekonomi, politik dan budaya, sudah tidak ada masalah. Masalah ada pada kebijakan operasional. Oleh sebab itu, pemberdayaan gaya ini adalah mengubah dari top down menjadi bottom up, sambilmengembangkan sumberdaya manusianya, menguatkan kelembagaannya, dan sejenisnya. Konsep ini sering disebut sebagai naïve paradigm.
3.    Pemberdayaan yang hanya berkutat di ‘akar’ atau pemberdayaan struktural. Karena tidak berdayaan masyarakat disebabkan oleh struktur politik, ekonomi, dan sosial budaya, yang tidak memberi ruang bagi masyarakat lemah untuk berbagi kuasa dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya, maka stuktur itu yang harus ditinjau kembali. Artinya, pemberdayaan hanya dipahami sebagai penjungkir balikan tatanan yang sudah ada. Semua tatanan dianggap salah dan oleh karenanya harus dihancurkan, seperti misalnya memfasilitasi rakyat untuk melawan pemerintah, memprovokasi masyarakat miskin untuk melawan orang kaya dan atau pengusaha, dan sejenisnya.
Singkat kata, konsep pemberdayaan masyarakat yang hanya berkutat pada akar adalah penggulingan the powerful. Konsep ketiga ini sering disebut sebagai critical paradigm. Oleh Pranarka dan Moelyarto (1996), karena kesalah-pahaman mengenai pemberdayaan ini, maka menimbulkan pandangan yang salah, seperti bahwa pemberdayaan adalah proses penghancuran kekuasaan, proses penghancuran negara, dan proses penghancuran pemerintah.
Menurut Karl Marx, pemberdayaan masyarakat adalah proses perjuangan kaum powerless untuk memperolah surplus value sebagai hak normatifnya. Perjuangan memperoleh surplus value dilakukan melalui distribusi penguasaan faktor-faktor produksi. Dan perjuangan untuk mendistribusikan penguasaan faktor-faktor produksi harus dilakukan melalui perjuangan politik. Kalau menurut Marx, pemberdayaan adalah pemberdayaan masyarakat, maka menurut Fiedmann,[4] pemberdayaan harus dimulai dari rumah tangga. Pemberdayaan rumah tangga adalah pemberdayaan yang mencakup aspek sosial, politik, dan psikologis.
Yang dimaksud dengan pemberdayaan sosial adalah usaha bagaimana rumah tangga lemah memperoleh akses informasi, akses pengetahuan dan keterampilan, akses untuk berpartisipasi dalam organisasi sosial, dan akses ke sumber-sumber keuangan. Yang dimaksud dengan pemberdayaan politik adalah usaha bagaimana rumah tangga yang lemah memiliki akses dalam proses pengambilan keputusan publik yang mempengaruhi masa depan mereka. Sedangkan pemberdayaan psikologis adalah usaha bagaimana membangun kepercayaan diri rumah tangga yang lemah.
Selain Karl Marx dan Friedmann, masih banyak pandangan mengenai pengertian pemberdayaan, seperti Hulme dan Turner (1990), Robert Dahl (1963), Kassam (1989), Sen dan Grown (1987), dan Paul (1987), yang pada prinsipnya adalah bahwa pemberdayaan adalah penguatan masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi masa depannya, penguatan masyarakat untuk dapat memperoleh faktor-faktor produksi, dan penguatan masyarakat untuk dapat menentukan pilihan masa depannya.
Berbagai pandangan mengenai konsep pemberdayaan, maka dapat disimpulkan, bahwa pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah penguatan kepemilikan faktor-faktor produksi, penguatan penguasaan distribusi dan pemasaran, penguatan masyarakat untuk mendapatkan gaji/upah yang memadai, dan penguatan masyarakat untuk memperoleh informasi, pengetahuan dan keterampilan, yang harus dilakukan secara multi aspek, baik dari aspek masyarakatnya sendiri, maupun aspek kebijakannya. Karena persoalan atau isu strategis perekonomian masyarakat bersifat lokal spesifik dan problem spesifik, maka konsep dan operasional pemberdayaan ekonomi masyarakat tidak dapat diformulasikan secara generik.
Usaha memformulasikan konsep, pendekatan, dan bentuk operasional pemberdayaan ekonomi masyarakat secara generik, memang penting, tetapi yang jauh lebih penting, adalah pemahaman bersama secara jernih terhadap karakteristik permasalahan ketidak berdayaan masyarakat di bidang ekonomi. Sebab dengan pemahaman yang jernih mengenai ini, akan lebih produktif dalam memformulasikan konsep, pendekatan, dan bentuk operasional pemberdayaan ekonomi masyarakat yang sesuai dengan karakteristik permasalahan lokal.
C.   Sistem Pemberdayaan Ekonomi Islam
Ekonomi Islam adalah sains sosial yang mengkaji persoalan ekonomi yang dijiwai dengan nilai-nilai Islam.[5] Hasanuzzaman juga menjelaskan salah satu cara mendefenisikan ekonomi Islam adalah dengan menggabungkan ekonomi modern dengan ekonomi Islam. Oleh sebab itu ekonomi Islam adalah suatu ilmu yang mempelajari ekonomi dalam prinsip Islam atau membawa ekonomi sejalan dengan syariah.[6] Ekonomi Islam merupakan bagian dari sistem Islam yang menyeluruh. Berbeda dengan halnya sistem ekonomi sebagai hasil penemuan manusia.
Dalam ekonomi Islam, antara agama dan ekonomi mesti terlihat jelas dan mempunyai hubungan timbal balik. Alam yang diperuntukkan bagi manusia dikelola sesuai dengan tujuan penciptaan. Oleh sebab itu, semua aktivitas manusia yang bersifat muamalat tidak terlepas dari hubungan yang erat antara ekonomi dengan agama. Adapun ciri-ciri ekonomi Islam dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.    Ekonomi Islam merupakan bagian dari sistem Islam secara keseluruhan dan keyakinan satu bagian saja dari sistem Islam.
2.    Ekonomi Islam merealisasikan keseimbangan antara kepentingan individu dengan masyarakat. Cita-cita ekonomi Islam adalah untuk merealisasikan kekayaan dan kesejahteraan hidup dan keuntungan umum bagi masyarakat, bukan untuk menciptakan persaingan, monopoli dan sikap mementingkan diri sendiri.
Banyak dilihat sekarang tentang sistem pemberdayaan ekonomi  umat, baik yang diberikan oleh pemerintah maupun dari pihak luar negeri. Akan tetapi, pemberdayaan tersebut banyak yang tidak berhasil di tengah-tengah masyarakat. Hal ini disebabkan karena sistem yang diberikan dengan cara konvesional. Contoh diberikan pinjaman dari pihak bank kepada masyarakat miskin dengan memakai sistem bunga. Walaupun bunga peminjaman itu besar tetap diambil oleh pemanfaat/nasabah. Hal itu terjadi karena banyak masyarakat yang tidak mengerti dengan sistem perekonomian secara syariah atau perbankan syari’ah.
Faktor penyebab lemahnya pengetahuan masyarakat tentang bank syariah karena kurangnya sosialisasi dan rendahnya sumber daya manusia yang mengetahui sistem perbankan syariah. Ini terlihat dari banyaknya banker-banker yang berasal dari perbankan konvensional yang menjadi banker di bank-bank syariah. Kalau ini dibiarkan terus maka akan terjadi manipulasi dalam hal produk syariah yang akan ditawarkan kepada masyarakat. Akhirnya yang dijalankan oleh banker itu produk konvensional yang dibungkus dengan kemasan syari’ah.
D.   Solusi Pemberdayaan Ekonomi Umat
Peran strategis zakat untuk mensejahterakan umat, bukan hanya janji kosong ataupun angan-angan. Ia telah terbukti begitu efektif sedari zaman kekhalifahan Umar bin Khathab. Abu Ubaid menuturkan bahwa Mu’adz bin Jabal pernah mengirimkan hasil zakat yang dipungutnya di Yaman kepada khalifah Umar, karena beliau tidak lagi menemukan mustahiq zakat di Yaman, tetapi dikembalikan oleh Umar. Mu’adz kemudian mengirimkan sepertiga hasil zakat itu yang kembali ditolak oleh Umar. Beliau berkata, “Saya tidak mengutusmu sebagai kolektor upeti, tetapi aku mengutusmu untuk memungut zakat dari orang kaya di sana dan dibagikan kepada kaum miskin di antara mereka juga.” Mu’adz menjawab, “Kalau di sana saya temukan orang miskin, buat apa saya susah-susah mengirimkannya kepada anda.” Pada tahun kedua, kembali Mu’adz mengirimkan separuh dari hasil zakat yang dipungutnya, dan Umar kembali menolaknya, begitu juga di tahun ketiga, kiriman tersebut dikembalikan oleh Umar. Mu’adz berkata, “Saya tidak menjumpai seorangpun yang berhak menerima bagian zakat yang saya pungut.”[7]
Sebuah potret yang begitu mengagumkan, apalagi negara kita adalah negara muslim terbesar di dunia, yang secara logika sederhana, muzakki-nya (pembayar zakat) tentu sangat banyak. Kalau ini bisa dimaksimalkan, tentu umat Islam segera bebas dari lilitan hutang dan berdiri dengan penuh marwah dan kehormatan. Akan tetapi, banyak ekonom yang meragukan keampuhan zakat. Mereka berpendapat bahwa zakat tidak memiliki pengaruh yang signifikan karena parsentasenya sangat kecil, yaitu hanya 2,5 persen. Bagaimana mungkin zakat akan mampu mempengaruhi, misalnya, pertumbuhan ekonomi suatu negara dengan persentase sebesar itu.
Munculnya keragu-raguan tersebut adalah karena hingga saat ini belum ada satu negara muslim pun yang dapat dijadikan sebagai model yang tepat. Malaysia sebagai contoh, memiliki keunggulan dalam hal penghimpunan zakat dibandingkan Indonesia. Namun demikian, dalam hal pendayagunaan zakat, justru Indonesia yang lebih unggul dibandingkan Malaysia. Indonesia memiliki kreativitas yang lebih tinggi dibandingkan negara-negara muslim lainnya dalam hal pemberdayaan dana zakat, infak dan sedekah (zis). Akan tetapi, dana zakat yang ada di Indonesia jumlahnya masih sangat kecil, yaitu kurang dari 1 persen dari total GDP, maka seolah-olah zakat tidak mempengaruhi perekonomian Indonesia secara makro. Tentu saja itu adalah anggapan yang salah.

E.   Agenda Pengelolaan Zakat
Metoda pengoptimalkan zakat bagi kesejahteraan ummat, memiliki beberapa hal yang menjadi fokus kajian;
1.  Mengoptimalkan kerja Lembaga ‘Amil Zakat (LAZ)
2.  Memperluas cakupan objek zakat yang sesuai dengan kaidah syari’ah. Menurut Dr. Didin Hafiduddin mengatakan sumber zakat dalam Islam menggunakan dua pendekatan, yakni pendekatan ijmali/global segala macam harta yang dimiliki yang memenuhi persyaratan zakat. Dengan pendekatan ini semua jenis harta yang belum ada di zaman Rasulullah, tetapi karena perkembangan ekonomi, menjadi benda yang bernilai, maka harus dikeluarkan zakatnya. Adapun pendekatan kedua yakni pendekatan tafshili/terinci, yaitu menjelaskan berbagai jenis harta yang apabila telah memenuhi persyaratan zakat, wajib dikeluarkan zakatnya.[8]
3.    Mengembangkan harta zakat menjadi usaha produktif
Simposium Yayasan Zakat Internasional III, yang diselenggarakan di Kuwait pada 2 Desembar 1992 mengeluarkan fatwa bahwa harta zakat boleh diinvestasikan dengan syarat:
1.    Harta tersebut tidak dibutuhkan segera.
2.    Investasi dilakukan dalam bidang yang legal.
3.  Ada jaminan bahwa modal investasi tetap sebagai uang zakat.
4.  Uang mudah dicairkan ketika mustahiq zakat sangat membutuhkan segera.
5.  Ada jaminan bahwa usaha tersebut menguntungkan.
Simposium juga memfatwakan bolehnya harta zakat untuk membangun proyek jasa seperti rumah sakit, perpustakaan, sekolah, dan lain-lain dengan syarat:
1.  Pihak yang mendapakan jasa tersebut adalah mustahiq zakat saja, sedangkan selain mereka hanya dibolehkan dengan dipungut biaya.
2.  Modal tetap atas nama mustahiq, sekalipun bukan mereka yang mengelola langsung.
3.  Bila proyek tersebut dijual maka hasilnya tetap berstatus uang zakat.
Demikian sebaiknya harta zakat lebih dimaksimalkan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, seperti diinvestasikan atau menjadi modal usaha nelayan, dijadikan modal untuk budi daya rumput laut dan banyak lagi yang bisa dikerjakan dalam memaksimalkan dana zakat bagi usaha yang lebih produktif, tentu dengan tetap memperhatikan kaedah-kaedah syar’i. Mudah-mudahan ini menjadi solusi bagi pengentasan kemiskinan umat.
Pemberdayaan sudah ada sejak lama, semenjak manusia mengenal kebudayaan. Pemberdayaan dapat diartikan dengan to give power atau authority to atau memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain; to give ability to atau enable atau usaha untuk memberi kemampuan atau keperdayaan. Konsep pemberdayaan mulai menjadi diskursus pembangunan, ketika orang mulai mempertanyakan makna pembangunan. Banyak konsep yang dilahirkan oleh para ahli di bidangnya. Masing-masing memberikan pandangan yang berbeda, namun dapat dipastikan tujuan mereka sama.
Begitupun dengan sistem ekonomi Islam, para pakarnya mencoba untuk menggabungkan sistem ekonomi Islam dengan ekonomi modern. Seperti lahirnya beberapa bank yang mencoba memadukan konsep modern dengan konsep syariah. Akan tetapi yang banyak ditemukan sekarang adalah bank-bank yang berselimutkan syari’ah, namun ternyata konvensional.
Ajaran Islam memberi beberapa tawaran solusi pemberdayaan masyarakat salah satunya dengan zakat. Zakat merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh umat Islam. Ini tertuang dalam rukun Islam yang ketiga. Zakat mempunyai peranan yang sangat dinamis dan strategis. Hal ini sudah terbukti nyata pada masa kekhalifahan Umar Bin Khatab.   













          [1] Mardi Yatmo Hutomo, SU adalah Staf Pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Wangsamanggala Yogyakarta. Pokok-pokok pikiran dalam tulisan ini pernah disampaikan pada Seminar Sehari Pemberdayaan Masyarakat yang diselenggarakan BAPPENAS, Tanggal 6 Maret 2000 di Jakarta.

[2]  Projono, O.S dan Pranarka, A.M.W (1996). Pemberdayan: Konsep, Kebijakan dan  Implementasi. CSIS; Jakarta h.: 269: 1-4.

[3] Mengenai ketiga pandangan ini (Power To Nobody, Power To Verybody, dan Power To Powerless) dapat dibaca pada tulisan A.M.W. Pranarka dan Vidhyandika Moeljarto mengenai Pemberdayaan (Empowerment) Cit Pemberdayaan: Konsep, kebijakan dan Implementasi. Onny S. Prijono dan A.M.W Pranarka (penyunting); 1996; hal. 45-70. CSIS; Jakarta.

[4]       Pendekatan Friedmann, sebenarnya pendekatan keluarga. Friedmann memiliki pandangan bahwa setiap rumah tangga memiliki tiga macam kekuatan, yaitu kekuatan sosial, kekuatan politik, dan kekuatan psikologis. Pandangan Friedmann ini kemudian menghasilkan rumusan mengenai pemberdayaan sebagai proses untuk masyarakat lemah memperoleh kekuatan dan akses terhadap sumberdaya. Baca, Friedmann (1992): Empowement: the Politics of Alternative Development. Cambridge Mass: Blackwell Publisher.

[5]           Ekonomi Islam dikatakan sebagai sains sosial, karena Ilmu Ekonomi mempelajari kehidupan manusia bermasyarakat (termasuk ilmu sosiolagi dalam arti yang terbatas). M.A Manan, Islamic Economics Theory and Practice, Idarah Adabiyat: Delhi, 1970), hal. 3
[6]           Hasanuzzaman, Defening Islamic Economic, Jurnal Of Islamic Banking and Finance, vol 8 April-Juni, 1991, hal. 14
[7]           Qardhawi, Yusuf, Hukum Zakat, Bogor, Lintera Antar Bangsa, 2002
[8]         DR. KH. Didin Hafidhuddin, M. Sc, Zakat Dalam Perekonomian Modern, 2002, Penerbit: Gema Insani, h. 15-16.

No comments:

Post a Comment