BAB I
PENDAHULUAN
M. M Siddiqi mengungkapkan dalam bukunya berjudul the social
sructure of indian muslims dalam intoduction-nya
“Islam being a perfect and positive religion provides for a
comprehensive social system that covers the whole gamut of human life. Human
life in the islamic perspective has profound meaning signified by man’s
creation and his descent on the earth. He has been created by Allah the
Almighty for his obedience and submission which is the sole objective of his
life”[1].
Islam merupakan agama yang sempurna dan positif, menyediakan sebuah
sistem sosial yang kompleks melingkupi semua aspek kehidupan manusia. Manusia
dalam pandangan Islam mempunyai arti penting tentang kreasi dan keberadaan
manusia di dunia. Manusia diciptakan Allah Yang Maha Kuasa dalam rangka
semata-mata patuh dan tunduk dalam kehidupannya.
Sosial
merupakan hasil dari sebuah interaksi dalam sebuah komunitas, dalam interaksi
sesama manusia yang menghasilkan sebuah norma dan kreasi itulah yang disebut
dengan budaya yang dilakukan secara kontiniu dalam sebuah komunitas baik berupa
ide, pikiran, hukum maupun teknologi. Merujuk
pernyataan Siddiqi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam merupakan
ideologi yang sangat komprehensif menjawab kebutuhan manusia dalam interaksi
kehidupan, secara tidak langsung mengatakan Islam urgen sekali dalam
nilai-nilai sosial masyarakat muslim dan secara tidak disadari akan menjadi
peletak batu pertama dalam pencetus dan pembentuk sebuah kebudayaan masyarakat
muslim dalam hal ini menjadi landasan dasar dalam berpikir, sudut pandang,
sikap, sifat, perangai, tingkah laku, hukum-hukum yang dibuat, pernyataan
bersifat legitimasi terhadap sebuah kasus baik tertulis maupun tidak tertulis.
Diperjelas Barton M. Schatz “typically, culture is divided into
subsidiary concepts like, kinship and sosial organization, economics, religion,
political organization, and languange”[2],
lebih khas lagi budaya dibedakan menjadi beberapa konsep seperti kekeluargaan
dan organisasi sosial, ekonomi, agama, organisasi politik dan juga bahasa.
Artinya semua itu tidak lepas dari bagian budaya yang dibentuk dalam sebuah
komunitas tertentu. Islam menerangkan tentang konsep keluarga (nikah, mendidik
anak, pergaulan dalam berkeluarga, dll), dalam organisasi sosial politik,
bagaimana mengedepankan asas yang mengacu kepada nilai Islam mengutamakan
kemashlahatan bersama dan dalam koridor yang ditentukan, masalah dengan
ekonomi, bagaimana mengatur sistem ekonomi yang berbasis kebaikan bersama
(menghindarkan riba, jual beli yang terlarang dll) dan agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Budaya
Budaya kadang dalam pemaknaan mengalami distorsi, melakukan
pemangkasan dan penyempitan makna, sehingga ada ungkapan “...ada masyarakat
yang berbudaya dan ada yang tidak...”, semua manusia yang hidup dalam komunitas
dan masyarakat tertentu sudah dipastikan adalah manusia berbudaya, karena inti
dari budaya itu adalah sebuah behavior dan believe yang mana itu berlaku menandakan
sebuah identitas suatu komunitas secara khas dan unik dipelajari[3]. Budaya merupakan hal yang
mesti dipelajari karena ini akan membedakan dengan bawaan secara biologis
berupa genetik dan insting yang ada dari lahir.
Mengerucutkan tentang budaya dan kebudayaan sebuah hal yang penting
dalam bahasan ini. Selo Soemardjan[4] memandang budaya adalah
merupak akal budi manusia itu sendiri yang merupakan sebuah proses yang berada
dalam cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayan adalah hasil dari proses tadi
sehingga melahirkan berbagai bentuk kebudayaan yang dapat dinikmati dan menjadi
simbol dalam komunitas tertentu. Cipta merupakan keingintahuan manusia terhadap
fenomena alam baik berupa lahir ataupun batin yang melahirkan ilmu pengetahuan,
sedangkan karsa erat hubungan dengan kajian yang bersifat transendental,
mengkaji hakikat diri yang menghasikan norma agama dan believe
(kepercayaan) sedangkan rasa keinginan dalam menikmati keindahan yang hasilnya
berupa seni. Ilmu pengetahuan, norma dan kepercayaan dan hasil seni merupakan
kebudayaan. E. B. Tylor[5] menekankan budaya
merupakan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat
istiadat, dll. Hal ini sebenarnya sama secara substansi dengan Soemardjan yang
menekankan pada proses sedangkan Tylor sudah menyebutkan hasil dari budaya
(akal pikiran) yaitu kebudayaan.
Anthropologi menyebut cultural universals yang berupa pandangan
filosofis, nilai, aturan, ilmu pengetahuan, ekonomi, sistem kekerabatan,
pemerintahan dan hukum[6]. Semua tindak tanduk
manusia selama berinteraksi (sosial) bersama dengan agama yang diyakini
melahirkan sosio-cultural yang komprehensif, kadangkala antara agama dan
budaya bisa tumpang tindih kalau tidak hati-hati dalam memahami, budaya lahir
dari akal manusia dan agama dari Tuhan, tetapi ada juga kenyataan bahwa agama
lahir dari budaya (akal budi) manusia. Dalam istilah teologi disebut dengan
agama ardhi (bumi) seperti Budha, Hindu, Kong-Hu-Cu dll, semua itu lahir
dari perenungan manusiawi. Sehingga bisa saja agama-budaya bisa satu arah atau
dua arah. Maksudnya agama yang
melahirkan budaya atau budaya yang melahirkan agama. Paradigma terakhir ini
bahwa agama adalah hasil kebudayaan dalam istilah Norbeck (1974:3)[7] agama adalah human
made, human creation.
B.
Pengertian Sosial
Sosial merupakan interaksi dalam sebuah masyarakat komunitas.
Sebagai makhluk sosial manusia mempunyai kebutuhan untuk berinteraksi satu
dengan yang lain dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi
secara individu. Dalam kata lain bisa dikatakan dengan interaksi sosial yang
bisa menimbulkan pertukaran dan saling mempengaruhi satu dengan yang lain.
Interaksi sosial yang terjadi antar individu dalam sebuah komunitas atau
individu tidak sesederhana yang tampak tapi punya muatan yang kompleks dengan
tingkat kerumitan tinggi. Terjadi penyesuaian
diri dengan lingkungan sekitar individu, bisa peleburan dengan cara individu
beradaptasi dengan meleburkan diri dengan nilai dan norma yang berlaku atau
sebaliknya individu bisa mempengaruhi lingkungan sesuai dengan nilai dan norma
yang dia anut.
Kehidupan sosial dalam hal peleburannya individu satu dengan yang
lain bisa lewat, pertama: imitasi, suatu proses peniruan yang dilakukan
individu terhadap seseorang, yang prosesnya tidak bisa secara langsung tapi
punya faktor ketertarikan akan hal yang diimitasi, sehingga dengan mudah
melakukan proses imitasi, kedua: ada peleburan sosial dalam interaksi
sosial dengan cara sugesti yaitu merupakan sikap menerima individu baik dari
diri sendiri atau dari orang lain tanpa melakukan perlawanan, kritik dan protes
dari yang melakukan sugesti tersebut, ketiga; identifikasi, Freud tokoh
psikologi mengatakan seseorang akan melakukan identifikasi (penyamaan) dengan
orang yang dianggap bagus menurut dia, sehingga orang yang diidentifikasi
tersebut, semua norma dan nilai yang dianut sedapat mungkin dicontoh, keempat:
simpati, merupakan sikap tertarik terhadap sesuatu yang mungkin kurang bisa
dijelaskan secara detail apa penyebabnya, sehingga dia akan tertarik dengan
penuh emosi yang mendalam.
C.
Pengertian Masyarakat Islam
Kata “masyarakat” dipakai orang dalam kehidupan sehari-hari yang
kadangkala tumpang tindih dengan pengertian komunitas dan rakyat.
Secara mudah diartikan masyarakat merupakan manusia yang berkelompok yang hidup
berdampingan bersama dalam sebuah pemukiman atau daerah dalam masa tertentu
yang mempunyai sistem sosial dan punya pandangan, keyakinan, pola pikir, sikap
dan perilaku yang serupa[8]
Ahmed Husaini mengutip karya Muhammad Ali dalam The Holy Quran,
Islam merupakan suatu keadaan sehat atau tabi’at, berasal dari aslama
yang mempunyai makna berserah diri atau dia masuk dalam kedamaian. Hanya dengan
kesadaran dan kedamaian berserah diri seorang manusia bisa menemukan jalan dan
arahan yang mengantarkan mencapai dan menemukan jalan dan tujuan hidup[9]. Secara gamblang Islam
diartikan seperti Tolstoi mengatakan Islam
merupakan ringkasan agama yang dikumandangkan Muhammad dan menyatakan bahwa
Allah itu satu, tiada tuhan selain Dia. Sehingga tidak dibenarkan menyembah banyak
Tuhan. Massignon mengartikan Islam merupakan agama yang memiliki keistimewaan,
bahkan Islam sebagai
ide persamaan yang benar dengan partisipasi semua anggota masyarakat. Umar Ibn
Khatab mengatakan Islam adalah agama yang diturunkan Allah kepada Muhammad Saw.
Agama ini meliputi: akidah, syariat, dan akhlak[10].
Penulis menggabungkan beberapa pendapat mengenai
Islam mulai dari pendapat yang mengedepankan perspektif Islam, perspektif
budaya, perspektif sosial, perspektif moral dan etika. Membahas Islam secara mendalam bukan kapasitas penulis
dalam konteks ini tetapi
mencoba memperkenalkan Islam dalam sebuah tatanan masyarakat dan sosio-kultural
sesuai dengan pembahasan tulisan ini. Tolstoi mengedepankan Islam adalah akidah
monothieistik yang terkandung ungkapan akhlak (meng-Esakan Allah SWT),
Massignon menunjuk ke arah kehidupan sosial yang tertata dengan kaidah-kaidah
moralis, persamaan yang dapat kita ambil dengan ungkapan Umar Ibn Khatab adalah
Islam merupakan akhlak.
Tidak susah untuk menjelaskan Islam setelah membandingkan
beberapa pendapat di atas. Bahwa sepakat Islam merupakan agama yang fundamental
dalam masalah akhlak, tabiat, perangai dalam kehidupan sosio-kultural manusia.
Bukankah Nabi Muhammad Saw. diutus
untuk menyempurnakan dan
memperbaiki tatanan nilai-nilai manusia kepada yang lebih manusiawi. Dalam
ungkapan lain menggambarkan betapa integralnya Islam dengan kehidupan manusia,
bahwa seorang muslim harus hablumminallah (vertikal) juga hablumminannas (horizontal).
Kelayakan Islam sebagai pembentuk sebuah masyarakat tidak perlu disangsikan
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan syarat sebuah masyarakat.
Arti menyeluruh masyarakat Islam adalah sekelompok
manusia yang mendiami suatu tempat dalam tempo waktu yang lama, hidup
berdampingan dan melakukan interaksi dan mempunyai pandangan, sikap, norma dan
nilai yang disepakati secara bersama keabsahannya untuk kebutuhan hidup sosial
dalam masyarakat tersebut. Karena mengacu kepada Islam, maka tentu norma,
nilai, pandangan dalam masyarakat tersebut berdasarkan nilai dan norma Islam,
sehingga segala bentuk produk budaya: hukum, undang-undang, norma yang tertulis
maupun yang tidak tertulis, kegiatan-kegiatan kerjasama, kesepakatan bersama
yang dianut dan diterapkan bersama adalah hasil cipta, karsa dan rasa yang
diarahkan dan dituntun secara sistematis oleh ajaran pokok Islam.
D.
Sosial budaya masyarakat Islam
Kajian sosial budaya Islam menyatu dengan proses agama Islam merambat
ke penjuru dunia dengan satu tuntunan al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad Saw,
namun setelah melakukan eksvansi ke
daerah-daerah lain yang sebelum Islam masuk sudah memiliki ideal culture (budaya
yang telah disepakati secara resmi). Islam melakukan penataan ulang terhadap
budaya lama
tentu akan mengalami rintangan dan kesulitan yang kadang berakhir dengan
bermacam-macam paradigma, ada sinkretisme yaitu pencampuran nilai budaya lama
dengan norma Islam yang berlaku bahkan bisa ada penentangan disebabkan culture
shock. Hal ini tentu perlu melakukan
akulturasi dengan budaya lama. Mengingat setiap budaya lama satu
daerah dengan daerah yang lain punya background berbeda geografis,
ekonomis, cuaca, pandangan, paham, dll, akan lahir agama Islam yang telah
terakulturasi dengan budaya lama.
Akulturasi budaya dan agama ini berpotensi melahirkan corak pengamalan
yang berbeda satu daerah dengan daerah lain. Bukan tidak mungkin tercampurnya
budaya dengan agama yang bisa saja bila diukur dengan patron asli akan jauh
berbeda, ini hal yang menjadikan perbedaan pandangan dalam sebuah pengamalan
dalam agama Islam. Istilah Islam ada yang namanya “bid’ah” merupakan
sesuatu yang dianggap baru dalam ibadah yang tidak ada tuntunannya dari Nabi Saw,
namun sudah timbul setelah terjadi proses akulturasi budaya, hal ini tidak
musti disikapi secara frontal.
Interaksi manusia dengan yang lain dalam Islam sudah mempunyai
panduan-panduan tertulis dari al-Quran dan Nabi Saw, dapat dikatakan hubungan
timbal balik manusia (sosial) telah ada pedoman baku dari ajaran Islam. Allah SWT
dalam surat al-Hujurat: 11-12,
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä
w
öyó¡o
×Pöqs%
`ÏiB
BQöqs%
#Ó|¤tã
br& (#qçRqä3t
#Zöyz öNåk÷]ÏiB wur
Öä!$|¡ÎS
`ÏiB
>ä!$|¡ÎpS #Ó|¤tã
br& £`ä3t
#Zöyz £`åk÷]ÏiB ( wur
(#ÿrâÏJù=s?
ö/ä3|¡àÿRr& wur
(#rât/$uZs?
É=»s)ø9F{$$Î/ ( }§ø©Î/
ãLôew$#
ä-qÝ¡àÿø9$# y÷èt/
Ç`»yJM}$#
4 `tBur öN©9
ó=çGt
y7Í´¯»s9'ré'sù
ãNèd
tbqçHÍ>»©à9$# ÇÊÊÈ $pkr'¯»t
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä
(#qç7Ï^tGô_$# #ZÏWx.
z`ÏiB Çd`©à9$#
cÎ)
uÙ÷èt/
Çd`©à9$#
ÒOøOÎ)
( wur
(#qÝ¡¡¡pgrB wur
=tGøót Nä3àÒ÷è/ $³Ò÷èt/ 4 =Ïtär&
óOà2ßtnr&
br& @à2ù't
zNóss9
ÏmÅzr& $\GøtB çnqßJçF÷dÌs3sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$#
4 ¨bÎ)
©!$#
Ò>#§qs? ×LìÏm§ ÇÊËÈ
Hai orang-orang
yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang
lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula
sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan
itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri[11]dan jangan memanggil dengan gelaran yang
mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah
iman[12] dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka
itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. dan
janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama
lain. Adakah seorang
di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? maka tentulah
kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Ayat
dalam surat al-Hujurat di atas, memberikan sumbangsih berupa tuntunan dalam
pergaulan sosial, tuntunan yang bagaimana idealnya manusia khususnya dalam hal
ini orang yang beriman. Agar interaksi umat Islam mencapai nilai-nilai
tertinggi yang menjunjung tinggi kemanusiaan harus memperlakukan saudara yang
lain dengan perlakuan yang baik, kalau bicara dengan hal-hal yang tidak
menyakiti pendengarnya, tidak melakukan fitnah dan gunjingan terhadap manusia
lain.
Bagi
komunitas muslim yang menjalankan ajaran secara kontiniu satu dengan yang lain
maka tercipta sebuah komunitas yang punya nilai-nilai sosial yang Islami, tentu
hal ini akan melahirkan sebuah kebudayaan yang punya integritas dengan individu-individu
dalam kelompoknya.
Terbentuknya
ideal culture, nilai-nilai Islam secara tidak sadar akan melakukan
proses internalisasi ke dalam individu yang berada dalam komunitas itu
baik yang sudah lama maupun individu yang baru beradaptasi dengan komunitas
tersebut. Sehingga lahirlah pedoman-pedoman komunikasi berupa verbal
atau non-verbal, kesenian-kesenian yang merujuk kepada tuntunan Islam
yang telah terbudayakan, hukum-hukum yang tertulis maupun tidak tertulis.
Sesuai uraian terdahulu bahwa kebudayaan merupakan produk yang terintegrasi
secara komprehensif dari hasil pola pikir (akal-budi) yang kita sebut dengan
budaya yang sebelumnya mindset itu sedemikian rupa telah diarahkan oleh
Islam (agama). Kesenian, ucapan, sapaan, komunikasi, hukum, sikap, tindakan,
hal-hal yang telah disepakati bersama baik fisik atau non-fisik merupakan
sebuah kebudayaan yang telah dihasilkan oleh Islam.
Urgensi
mempelajari, mengetahui, dan memahami konteks sosial budaya Islam tidak
terlepas akan pentingnya memahami Islam itu sendiri. Kalau kita bicara Islam
dan ajarannya sama pentingnya kita membicarakan sosial budaya masyarakat itu
sendiri, bukan berarti kita menyamakan antara ajaran Islam dengan sosial budaya
masyaraat Islam, karena perlu ditegaskan bedanya jelas mana yang ajaran Islam
dan mana sosial budaya masyarakat Islam.
Secara
Anthropologis bahwa manusia sudah hidup di berbagai belahan dunia menciptakan
life style berbeda yang mana itu merupakan bentuk pertahanan diri
terhadap kehidupan biologis dan sosial mereka. Iklim, topografi, cuaca,
geografi, musim dan latarbelakang sejarah telah membentuk pola kebudayaan yang
bermacam ragam di seluruh dunia. Pengembangan masyarakat Islam dalam melihat
metode dan sasaran seharusnya memahami konteks sosio-kultural mad’u,
agar mudah melakukan penetrasi ke dalam sistem budaya tertentu, sehingga
memudahkan melakukan perubahan dan gerakan memberdayakan mad’u.
Kerukunan
hidup beragama dalam kehidupan khusunya bangsa Indonesia yang banyak etnis,
ras, budaya tidak bisa terbina dengan baik andai kata satu dengan yang lain
tidak bisa melakukan pemahaman. Sudah banyak unsur SARA yang terjadi di
Indonesia, yang umumnya dipicu oleh tidak tolerannya dalam memahami konteks
budaya masing-masing agama, sehingga kekerasan seakan menjadi solusi dalam
menyelesaikannya. Hal ini penulis anggap terlalu prematur sebagai solusi.
Sosial budaya masyarakat Islam di Arab, UK, USA, Indonesia, Malaysia, India dan
negara lain, akan dijumpai perbedaannya yang sangat mendasar setidaknya dalam
hal muamalah, sedikit dalam hal akidah. Contohnya ajaran Islam mengajarkan
saling tenggang rasa, saling menghormati, mengucapkan kata yang baik, perilaku
sopan, santun, ramah. Dalam hal mengekpresikan ajaran tadi karena punya backround
yang berbeda, maka bisa saja dalam budaya Arab menyentuh bagian kepala adalah
penghormatan seperti memegang jenggot. Ini merupakan sebuah komunikasi
non-verbal dalam konteks sosial budaya Arab adalah menghormati, tetapi berbeda
di Indonesia menyentuh bagian kepala bukanlah penghormatan, tetapi malah kadang
mengartikan sebuah penghinaan, sedangkan di Arab menyentuh bagian pantat
merupakan penghinaan yang besar, dibandingkan di Indonesia sesama laki-laki
biasa saja menepuk atau memukul pantat teman dalam bercanda (setidaknya bukan
merupakan penghinaan seperti yang dipahami dalam sosial budaya orang Arab).
Pentingnya
juga memahami sosial budaya masyarakat Islam karena dunia sudah semakin
terbuka, semakin cepat diakses yang sebelumnya tidak, pembauran antar buadya
sudah menjadi sebuah keharusan, karena teknologi sudah memberikan kemudahan
dalam hal itu, ini berguna bagi umat Islam yang berbeda budaya dalam menjalin
interaksi sosial, atau juga bagi da’i yang menghadapi mad’u yang
punya sosio-kultur yang berbeda. Masyarakat Islam modern disuguhkan dengan
berbagai tantangan sehubungan dengan globalisasi.
Kembali
ke ajaran Islam adalah sebuah keniscayaan, tetapi memahami dan mentolerir
sosial budaya Islam adalah sebuah yang tidak bisa disepelekan selama sosial
budaya itu tidak menyentuh masalah pokok atau mengurangi esensi nilai-nilai
Islam. Kalau merujuk ke belakang, budaya Islam sudah muncul pada abad ke-16 M. Berhubung
Islam muncul di Arab maka tidak bisa dipungkiri dalam mengekspresikan ajaran
Islam banyak terakulturasi dengan budaya Arab sebelum Islam datang. Akulturasi
hanya dalam hal ekspresi saja bukan dalam masalah esensi, karena Islam tidak
bisa mentolerir keberadaan budaya yang bertentangan dengan ajaran pokok Islam,
karena Islam bukanlah agama budaya melainkan Islam yang akan membentuk budaya
dan peradaban. Ini perlu ditekankan untuk memperjelas antara ajaran Islam dan
budaya yang dimasukinya.
Sering
ditemukan dalam proses asimilasi dan adaptasi budaya satu dengan budaya lain
yang sama-sama mempunyai nilai dan kandungan ajaran Islam kadang-kadang satu
sama lain saling mendiskreditkan karena mengukur dengan subjektif sosial budaya
Islam yang dianutnya. Contoh menarik dalam hal ini, tokoh cendekiawan muslim
Indonesia yaitu Azyumardi Azra, saat menyelesaikan disertasinya di US, dia
mengambil tema tentang hubungan ulama Timur Tengah dengan perkembangan Islam di
Indonesia, saat dia melakukan shalat Maghrib di sebuah masjid di Timur Tengah
dia sempat ditegur imam shalat karena dia menggunakan kain sarung dengan maksud
“laki-laki haram memakai pakaian wanita” maksud imam adalah dalam persepsi
sosial budaya mereka bahwa memakai kain sarung bagi laki-laki adalah memakai
pakaian kaum wanita. Azra kembali mengatakan bahwa justru di kampung saya
(Indonesia) yang pakai pakaian gamis itu justru pakaian wanita di
Indonesia (seperti pakaian orang hamil) dan lain sebagainya yang esensi pola
sama dengan gamis. Itu salah satu contoh punya hikmah perlunya
mengetahui sosial busaya Islam, memang betul laki-laki tidak boleh memakai
pakaian yang menyerupai pakaian wanita (esensi) namun menerjemahkan mana
pakaian wanita dan laki-laki akan berbeda di lapangan seperti kain sarung
pakaian laki-laki di Indonesia sedangkan di salah satu sosial budaya di Timur
Tengah merupakan pakaian wanita (ekspresi).
[1] F.R Faridi.
M.M Siddiqi. The Social Culture Of Indians Muslims. Institute of
Objective Studies New Delhi 110025. 1992. New Delhi: h.2
[2] Barton M.
Schartz. Robert H. Ewald. Culture and
Society. -----------. 1968. California: h. 54
[3] Bruce J.
Cohen. Sosiologi (Suatu Pangantar). Rineka Cipta. Jakarta: h.49
[4] Elly M.
Setiadi. Kamal Abdul Hakam. Ridwan Effendi. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar.
Kencana. Jakarta: h. 28
[5] Elly M.
Setiadi. Kamal Abdul Hakam. Ridwan Effendi. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar.
Kencana. Jakarta: h. 27
[6] Bustanuddin
Agus. Sosiologi Agama. Universitas Andalas. Padang: h. 129
[7] Ibid,
h.. 130
[8] Bruce J.
Cohen. Sosiologi (Suatu Pangantar). Rineka Cipta. Jakarta: h.49
[9] S. Waqar Ahmed
Husaini. Sistem Rekayasa Sosial Dalam Islam. PTN IAIN Jakarta. Jakarta:
h.1
[10] http://www.islambisa.web.id/17/09/2012.
[11] Jangan mencela
dirimu sendiri Maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karena orang-orang
mukmin seperti satu tubuh.
[12] Panggilan yang
buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti
panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: Hai fasik,
Hai kafir dan sebagainya.
No comments:
Post a Comment