MANHAJ PEMBENTUKAN
JAMAAH
A. Pendahuluan
Isu
sosial di Indonesia, tertuju pandangan kepada umat Islam karena umat yang
paling dominan menghuni kepulauan nusantara adalah beragama Islam. Oleh karena
itu, sudah seharusnya ulama, tokoh agama, dan masyarakat merevitalisasi konsep
dakwah yang konvensional dan mengaplikasikan konsep dakwah yang menyentuh semua
aspek kehidupan umat Islam.
Selama
ini, dakwah dipahami oleh masyarakat umum sebatas penyampaian informasi, usaha
menginformasikan nilai-nilai Islam untuk diaplikasikan dalam kehidupan.
Pemahaman ini telah memisahkan antara urusan dakwah dengan aktivitas di setiap
dimensi umat manusia, terutama komunitas muslim. Dengan demikian, dakwah
seharusnya menyentuh pengembangan dan pemberdayaan komunitas Islam dalam
mencapai taraf hidup layak dan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan
umat.
Sebenarnya,
potensi yang dimiliki umat Islam sangat besar, baik potensi sumber daya manusia
(SDA) maupun sumber daya alam (SDM). Sebut saja, potensi SDA, yang mana
sepertiga penduduk dunia adalah umat Islam. Demikian juga dengan geografis yang
dihuni oleh umat Islam menyimpan banyak energi dan barang tambang lainnya. Akan
tetapi, belum semua potensi itu yang digunakan umat Islam. Hal ini dikarenakan
rendahnya kemampuan dan lemahnya etos kerja. Padahal, ajaran agama mendorong
agar umat Islam berusaha sekuat tenaga. Tidak ada konsep hidup bermalas-malasan
sehingga menimbulkan kemiskinan dan melahirkan generasi yang lemah. Dari segi
potensi kuantitas umat ini, belum adanya kesadaran untuk menjalin kesatuan dan
persatuan, terutama sesama muslim. Ini juga bertentangan dengan konsep Islam.
Umat Islam itu bersaudara, apakah itu persaudaraan keturunan, kekerabatan,
daerah, dan apalagi persaudaraan agama.
Untuk
membangkitkan potensi yang memang belum semuanya tergarap, step by step,
kekuatan itu dicoba untuk dibangkitkan. Salah satu upaya yang selalu
digencarkan masyarakat modern saat ini adalah dengan melakukan pemberdayaan.
Dalam makalah ini, penulis mencoba memberdayakan kekuatan besar itu melalui
pengukuhan jamaah.
B. Pembahasan
1. Definisi Manhaj
Sesungguhnya
Allah SWT menjadikan bagi tiap-tiap umat, syariat dan manhaj, Ahli
Taurat memiliki syariat sendiri, ahli Injil memiliki syariat sendiri demikian
pula dengan ahli al-Quran. Mereka memiliki syariat-syariat yang berbeda di
dalam masalah hukum. Definisi al-manhaj adalah jalan yang nyata dan terang. Allah berfirman,
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, kami berikan syariat dan manhaj
(al-Maidah: 48), yaitu syariat dan jalan yang terang lagi jelas. Raji Fauzi
dalam id-id.facebook.com/notes/raji-fauzi, mengartikan manhaj adalah metodologi
menerima, mengalisis dan menerapkan pengetahuan. Jika dihubungkan dengan ahlus
sunnah, maka manhaj merupakan metodologi menerima, mengalisis dan menerapkan
pengetahuan berdasarkan al-Quran dan Sunnah dan bersepakat di dalam masalah
Tauhid (mengesakan) Allah Azza wa Jalla.
Makna
Manhaj, dalam bahasa Arab adalah sebuah jalan terang yang ditempuh. Sebagaimana
dalam firman Allah:
“Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Quran dengan membawa
kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu. Maka putuskanlah
perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.
Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat, tetapi Allah
hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah
berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.”
Kata
minhaj, sama dengan kata manhaj. Kata minhaj dalam ayat tersebut diterangkan
oleh Ibnu Abbas, maknanya adalah sunnah, jalan yang ditempuh dan sangat terang.
Demikian pula Ibnu Katsir menjelaskan (lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/67-68 dan
Mu’jamul Wasith). Yang diinginkan dengan pembahasan ini adalah untuk
menjelaskan jalan yang ditempuh ahlus sunnah dalam mendapatkan ilmu agama.
Dengan jalan itulah, insya Allah membawa keselamatan dari berbagai kesalahan
atau kerancuan dalam mendapatkan ilmu agama. Inilah rambu-rambu yang harus dipegang
dalam mencari ilmu agama.
Mengambil
ilmu agama dari sumber aslinya yaitu al-Quran dan Sunnah. Allah berfirman, “Ikutilah
apa yang diturunkan kepada kamu dari Rabb mu dan jangan kamu mengikuti para
pimpinan selain-Nya. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran darinya.” (al-
A’raf: 3). Rasulullah bersabda, “Ketahuilah bahwasanya aku diberi al-Quran dan
yang serupa dengannya bersamanya.” (Shahih, HR. Ahmad dan Abu Dawud dari Miqdam
bin Ma’di Karib. Lihat Shahihul Jami’ N0. 2643).
Syaikh Shalih al-Fauzan mengatakan, “Manhaj itu lebih luas
dari pada akidah. Ada manhaj dalam berakidah, berperilaku, berakhlak,
bermuamalah dan dalam semua sisi kehidupan seorang muslim. Seluruh langkah yang
ditempuh oleh seorang muslim dalam seluruh aspek kehidupan itu disebut dengan
istilah manhaj.
Syaikh Muqbil bin Hadi al Wadi’i mengatakan, “Manhaj kaum
muslimin adalah seluruh ajaran al-Quran dan sunnah rasulullah sebagaimana yang
Allah firmankan, “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
secara menyeluruh” (QS. al-Baqarah: 208).
Penjelasan ulama di atas bertemu pada titik yang sama yaitu manhaj atau
minhaj seorang muslim sejati adalah seluruh ajaran al-Quran dan Sunnah. Seluruh
ajaran al-Quran dan sunnah baik terkait dengan adab, akhlak, ibadah dan
muamalah adalah manhaj/jalan seorang muslim.
Sehingga tidak
berdusta, tidak khianat dan seterusnya adalah manhaj seorang muslim dalam
masalah akhlak. Makan dengan tangan, dan lain-lain adalah manhaj seorang muslim
dalam masalah adab. Rutin menjalankan shalat lima waktu adalah di antara manhaj
seorang muslim dalam bidang ibadah. Tidak mau berjudi adalah di antara manhaj
seorang muslim dalam bidang muamalah.
2. Definisi dan Urgensi Jamaah
Jamaah
adalah terma agama. Islam menyebutnya dengan jamaah, sedangkan jemaat merupakan
istilah Kristen. Berkumpul (al-tajammu’), merupakan kenyataan penting
untuk mengukuhkan agama Islam di dalam kehidupan umat. (Amahzun, 2005: 165).
Bahkan, Islam tidak mungkin berdiri kokoh tanpa adanya jamaah yang senantiasa
bersatu padu.
Kata
jamaah semata-mata menunjukan suatu kelompok kecil masyarakat tetapi lebih luas
dari keluarga yang hidup bersama menyelesaikan persoalan hidup mereka secara
bersama baik dalam bidang ubudiah, maupun bidang kehidupan lainnya, seperti
ekonomi, kesehatan, budaya dan politik (Mulkhan, 1996: 214). Apa yang disebut
jamaah dalam konsep ini, lebih sesuai dengan kelompok dalam ilmu sosiologi.
Bedanya terletak pada ikatan kebersamaan. Ikatan antar anggota jamaah tidak
hanya ditentukan oleh faktor-faktor ekonomi, sosial, dan budaya. Akan tetapi,
jamaah lebih menekankan pada ikatan dakwah Islam yang isinya termasuk
faktor-faktor ekonomi, sosial, dan budaya. Tujuan jamaah adalah mewadahi setiap
pribadi, menyelesaikan berbagai persoalan hidup sosial, dan didorong dengan
semangat mengamalkan ajaran Islam.
Walaupun
banyak aktivitas jamaah menyangkut aktivitas ekonomi dan kesehatan, tetapi
didorong semangat yang tercantum dalam pokok ajaran Islam, ta’awun, tolong-menolong
dalam berbagai masalah untuk mewujudkan kebaikan hidup. Jamaah adalah wadah bagi umat Islam
dalam menjalankan ibadah. Di dalam jamaah, terdapat imam atau amir atau sultan, dan ada
rukyah atau makmum atau
rakyat. Sama halnya dalam shalat, ada imam ada makmum. Walaupun ribuan umat salat di
masjid bersama, tapi tanpa ada imam, tidak bisa dikatakan salat berjamaah. Akan
tetapi, walau hanya tiga orang, kalau salah satu maju menjadi imam, maka itu
salat berjama'ah. Secara bahasa, jamaah berasal dari bahasa Arab yang memiliki
arti, berkumpul. Misalnya, jamaah pasar berarti perkumpulan orang yang ada di
pasar. Jamaah menurut istilah dapat diartikan sebagai pelaksanaan ibadah secara
bersama-sama yang dipimpin oleh seorang imam. Misalnya jamaah shalat, jamaah
haji, dll.
3. Manhaj Pembentukan Jamaah
Amahzun
(2005: xxi-xxiv) menjelaskan bahwa ada beberapa manhaj rasulullah dalam
mengembangkan komunitas Islam di Mekah. Manhaj tersebut menyentuh bidang
pengetahuan, pembinaan, perencanaan, dan sistem pelaksanaan. Adapun bidang
pengetahuan meliputi pengetahuan tentang Allah, sunnah-sunnah Rabbaniyah, dan
menjelaskan tujuan hijrah. Bidang pembinaan dilakukan melalui kejadian,
pembinaan melalui amalan hati, pembinaan melalui akhlak, pembinaan yang
komprehensif dan integral, dan teguh pada prinsip dan anti kompromi. Bidang
perencanaan meliputi perencanaan permulaan dakwah tertutup, fase kedua dakwah
terbuka, mencari dukungan dan mengetahui kondisi sosial, dan psikologis
lingkungan dakwah. terakhir, bidang sistem pelaksanaan dakwah, baik dakwah
sirriyah dalam jamaah yang tertutup, maupun pembinaan individu dalam ruang
lingkup jamaah yang lebih besar.
Penjelasan
Amahzun di atas mengarah pembicaraan pada manhaj dakwah Islam dalam pembentukan
umat, dengan menggunakan kerangka berfikir kemanajemenan. Tahapan yang
diberikan rasulullah dalam membentuk umat Islam, dapat diaplikasikan ke konsep
yang lebih kecil dan konsep yang lebih besar. Konsep yang lebih kecil yang
dimaksud adalah pembentukan jamaah, sedangkan konsep yang lebih besar adalah
pembentukan dan pembinaan masyarakat global, seperti peristiwa yang terjadi di
masa kejayaan Islam, yang mana sepertiga dunia memeluk ad-dien al-Islam.
Dalam
kajian Sosiologi, jamaah mendekati pengertiannya dengan kelompok. David Cs
(1985:107) memberikan definisi kelompok adalah agregat sosial di mana
anggota-anggota yang saling tergantung, setidak-tidaknya memiliki potensi untuk
berinteraksi satu sama lainnya. Ada batasan-batasan suatu kerumunan orang
dikatakan kelompok jika ada peran sosial, kekompakan, berbicara, dan
kepemimpinan, serta hubungan komunikasi. Batasan-batasan ini dimiliki oleh
sistem jamaah yang dipimpin oleh seorang imam/pemimpin yang berfungsi sebagai
pemandu. Akan tetapi, dalam makalah ini lebih mengarahkan kepada metode
pembentukan jamaah, bukan proses terbentuknya kelompok.
Pada
awal Islam berkembang, rasulullah menyeru secara diam-diam kepada kerabat
dekat. Yang pertama diajarkan rasul adalah pengetahuan tentang aqidah atau
keimanan. Setelah keimanan pengikut beliau diperkirakan tangguh, barulah beliau
mengajarkan ibadah. Ini sebuah gambaran sejarah bagi generasi saat ini, bahwa
untuk membentuk jamaah harus dimulai dengan memberikan pengetahuan tentang
aqidah dan keimanan. Amahzun (2005: 165-166) mengutip firman Allah QS.
al-‘Ashr: 1-3.
“Demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati
kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”.
Menurut
Amahzun, perintah menyampaikan risalah Tuhan, dari Allah ke Malaikat Jibril,
diterima oleh Rasulullah Saw., lalu diteruskan oleh sahabat, tabi’in,
tabi’it-tabi’in, ulama dan umat, tidak akan dapat berjalan dengan baik kalau
tidak didukung dengan kesadaran berjamaah, segolongan umat yang beriman lagi
beramal shaleh, untuk nasehat-menasehati dalam kebenaran dan nasehat-menasehati
dalam kesabaran.
Nabi
Muhammad Saw., pernah mengutus Muadz bin Jabal ke Negeri Yaman. Yang pertama
diajarkan adalah mengenal Allah. Mengenal Allah merupakan ilmu tentang tauhid
dan keimanan. Kemudian diajarkan kepada umat persoalan ibadah fardhu, dan
ibadah yang memiliki nilai-nilai sosial (amal shaleh).
Munculnya
jamaah dikarenakan beragam alasan sesuai kebutuhan masyarakat. Adakalanya
mereka berkumpul karena alasan keagamaan, sosial, dan organisasi. Jamaah
merupakan kelompok yang terbentuk karena kebutuhan yang bersifat keagamaan.
Dalam perspektif pemberdayaan, jamaah akan terbentuk apabila kelompok tersebut
menerima pengetahuan, menerima bujukan, putusan, mengimplementasikan, dan pemastian.
Menerima pengetahuan maksudnya, sekumpulan orang yang akan dibina disadarkan
akan potensi-potensi yang ada. Potensi jamaah adalah kebersamaan dalam
menyelesaikan persoalan kehidupan, seperti problema kehidupan sosial, agama,
ekonomi, politik, dan budaya. Pada tahap ini, pemberdaya berupaya menumbuhkan
kesadaran berpikir tentang potensi jamaah dalam menjaga kelestarian agama,
sosial dan budaya, serta keuntungan-keuntungan yang mungkin dapat diperoleh
melalui berjamaah.
Menerima
bujukan, maksudnya pemberdaya harus sabar mengajak dan menasehati calon jamaah
agar segera berbuat dan mengikuti saran-sarannya. Pada tahap ini diupayakan
agar jamaah dengan kesadaran pribadinya terdorong untuk melakukan action.
Inilah yang harus diputuskan oleh sekelompok orang, agar segera berbuat bukan
sekedar berpendapat. Tahap ini disebut juga tahapan menumbuhkan kesadaran
bertindak bagi masyarakat.
Tahap
putusan yang dimaksud adalah tahap masyarakat untuk segera mengambil
kesimpulan, memulai aksi atau tidak. Beberapa tahap sudah dilewati, penumbuhan
kesadaran untuk merubah pendapat (kesadaran berpikir), persuasif atau membujuk
untuk ber-action, dan kini saatnya untuk memutuskan segera ber-action.
Penjelasan-penjelasan
yang menerpa masyarakat, semua diproses dalam otak, dan melahirkan gerak atau
tidak, untuk mengambil tindakan yang tepat. Jika pesan-pesan pada tahap
sebelumnya berhasil menyentuh kesadaran masyarakat, maka kemungkinan besar
pesan itu akan diimplementasikan dalam bentuk tindakan nyata.
Machendrawati
dan Agus (2001: 31-32) memberikan rujukan kepada action yang dilakukan
oleh rasulullah Saw., dalam membina umat Islam. Ada tiga tahapan yang harus
dibangun, tahapan takwin, tanzim, dan taudi’. Tahap pertama,
menginternalisasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat, kemudian
mengekspresikan dalam ghirah dan sikap membela keimanan dari tekanan
struktural (al-mala al-mutrafin) kaum penindas. Pada tahap ini, rasul
melaksanakan dakwah untuk pembebasan. Menurut Amrullah Ahmad (1996: 67), pada
tahap takwin, fundamen sosial Islam dalam bentuk akidah, ukhuwah Islamiyah,
ta’awwun, dan shalat sudah dapat diterapkan kepada masyarakat. Tauhid menjadi
instrument sosiologis dalam mempersatukan para sahabat dan masyarakat muslim.
Kedua,
tahap tanzim terfokus program pada pembinaan dan penataan masyarakat.
Pada fase ini, internalisasi dan eksternalisasi Islam muncul dalam bentuk
institusional Islam secara komprehensif dalam realitas sosial. Misalnya,
peristiwa hijrah Nabi dalam perspektif dakwah dilakukan ketika tekanan
kultural, struktural, dan militer yang sangat mencekam sehingga jika tidak
hijrah, bisa terjadi involusi kelembagaan dan menjadi lumpuh. Masyarakat yang
sudah terkungkung dalam situasi sosio-kultural yang tidak mendukung, zalim dan
merugikan karena diikat oleh tata nilai merendahkan sebagian golongan. Dengan
berhijrah, masyarakat diajak meninggalkan kungkungan alam ini, menuju pandangan
yang luas dan menyeluruh yang dapat menghilangkan kejumudan dan kemerosotan
sosial, sehingga masyarakat yang jumud menjadi dinamis.
Ketiga,
tahapan taudi’ adalah keterlepasan dan kemandirian. Pada tahap ini,
jamaah telah siap menjadi masyarakat mandiri, terutama secara manajerial. Bila
ketiga tahap ini telah dijalankan, bolehlah berharap akan munculnya suatu
masyarakat Islam yang memiliki kualitas yang siap dipertandingkan dalam
kelompok-kelompok masyarakat lain.
4. Dakwah Jamaah dan Pemberdayaan Masyarakat
Pernyataan
Hamka (1984: 216), untuk menghidupkan dakwah, sudah sepatutnya umat muslimin
teguh menegakan jamaahnya dengan meramaikan masjid. Konsekuensi dari ide
gerakan dakwah ini menjadikan masjid sebagai basis aktivitas dakwah. Dakwah
jamaah adalah suatu model kegiatan dakwah yang menjadikan kehidupan jamaah
sebagai sarana dakwah dan wadah untuk mencapai tujuan bersama. Dengan kata lain,
dakwah jamaah ialah upaya mengembangkan dan membina kehidupan jamaah menjadi
kehidupan yang lebih Islami (Mulkhan, 1996: 215).
Upaya
dakwah bukan sekedar proses yang memperkenalkan manusia dengan Tuhan-nya. Akan
tetapi, dakwah merupakan proses transformasi atau perubahan sosial. Dalam
transformasi sosial di era modernitas, ada tujuh penyakit yang dapat merusak
tatanan kehidupan sosial yang baik. Machendrawati dan Agus (2001: 34) mengutip
pendapat Jalaluddin Rachmat yang dikutipnya dari Lyman, the seven deadly
sins alias tujuh dosa maut, yaitu ketidakpedulian, nafsu, angkara murka,
kesombongan, iri hati, lahap dan kerakusan. Tujuh hal ini bagian dari problem
yang dihadapi masyarakat yang sedang bergerak menuju ke arah modern. Ini pula
yang harus diwaspadai oleh para dai dan siapa saja yang concern terhadap
berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat.
Dilihat
dari kacamata kultural-psikologis, persoalan yang dikhawatirkan merusak visi
dan misi perubahan, memerlukan penanganan yang serius. Itu berarti agama harus
diturunkan sebagai wacana budaya yang diyakini bisa menjawab berbagai tantangan
budaya kontemporer. Maksudnya, bukan menjadikan agama hanya sebuah kebudayaan
melainkan realisasi nilai-nilai agama dapat mewarnai kebudayaan umat. Kajian
ini sangat perlu dipahami, karena pembentukan jamaah pada hakikatnya mewujudkan
khairul ummah di tengah komunitas global. Tanpa kesediaan menjadikan
agama sebagai wacana budaya, menurut Mulkhan (1999: 3), gerakan dakwah ataupun
gerakan pengembangan masyarakat akan mengalami kesulitan untuk secara
sungguh-sungguh peduli terhadap penderitaan dan kemiskinan. Akan tetapi, dengan
strategi pengembangan agama sebagai wacana budaya dan seni, maka dakwah Islam dan
gerakan pengembangan masyarakat mungkin
bisa menempatkan diri sebagai pemeran strategis bagi sebuah Indonesia
yang lebih baik.
Konsep
dan strategi dakwah harus diarahkan pada pemecahan berbagai persoalan yang
dihadapi masyarakat di lapangan. Dakwah sebagai pemecahan masalah diharapakan
akan menghasilkan tiga kondisi berikut, tumbuhnya kepercayaan dan kemandirian
umat serta masyarakat sehingga berkembang sikap optimis, tumbuhnya kepercayaan
terhadap kegiatan dakwah guna mencapai tujuan kehidupan yang lebih baik, dan
berkembangnya suatu kondisi sosio-ekonomi-budaya-politik-iptek sebagai landasan
peningkatan kualitas hidup atau peningkatan kualitas sumber daya umat. Dengan
demikian, dakwah sebagai pemecahan masalah (problem solving) merupakan
upaya yang demokratis bagi pengembangan dan peningkatan kualitas hidup sebagai
bagian pemberdayaan manusia dan masyarakat dalam menyelesaikan berbagai
persoalan kehidupan objektif.
Melalui
dakwah, pemecahan persoalan dan pengembangan masyarakat maka kelompok masyarakat
yang kecilpun dapat dikembangkan menjadi komunitas sosial yang mempunyai
kemampuan internal yang bekembang mandiri dalam menyelesaikan persoalan yang
dihadapi. Dengan demikian, pengembangan kemampuan dan kualitas sumber daya umat
dalam lingkup kecil, seperti keluarga atau jamaah, harus mendapatkan perhatian
seluruh lembaga formal dakwah Islam, dan siapapun untuk melaksanakan dakwah yang
terencana dan sistematis.
Manhaj
pembentukan jamaah, maksudnya adalah cara-cara untuk membentuk jamaah. Ada
beberapa tahapan dalam pembentukan jamaah, menerima pengetahuan, menerima
bujukan, putusan, mengimplementasikan, dan kepastian. Selain itu, ada tiga
tahapan untuk membentuk jamaah umat, takwin, tanzim, dan tuadi’. Pentingnya
dipelajari manhaj pembentukan jamaah adalah untuk mengaktifkan kembali sistem
dakwah rasulullah dalam upaya pengembangan komunitas Islam yang berkualitas
agama, sosial, budaya, dan ekonomi. Aktualisasi nilai-nilai Islam melalui
dakwah jamaah perspektif pemberdayaan masyarakat Islam.
Mempelajari
manhaj pembentukan jamaah diharapkan munculnya gerakan dakwah jamaah yang
tangguh, step by step, menuju pembangunan komunitas Islam yang berkualitas yang
mampu bersaing di era globalisasi.
No comments:
Post a Comment