Saturday, October 21, 2017

MANHAJ PEMBENTUKAN JAMAAH



MANHAJ PEMBENTUKAN JAMAAH

A.   Pendahuluan
Isu sosial di Indonesia, tertuju pandangan kepada umat Islam karena umat yang paling dominan menghuni kepulauan nusantara adalah beragama Islam. Oleh karena itu, sudah seharusnya ulama, tokoh agama, dan masyarakat merevitalisasi konsep dakwah yang konvensional dan mengaplikasikan konsep dakwah yang menyentuh semua aspek kehidupan umat Islam.
Selama ini, dakwah dipahami oleh masyarakat umum sebatas penyampaian informasi, usaha menginformasikan nilai-nilai Islam untuk diaplikasikan dalam kehidupan. Pemahaman ini telah memisahkan antara urusan dakwah dengan aktivitas di setiap dimensi umat manusia, terutama komunitas muslim. Dengan demikian, dakwah seharusnya menyentuh pengembangan dan pemberdayaan komunitas Islam dalam mencapai taraf hidup layak dan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan umat.
Sebenarnya, potensi yang dimiliki umat Islam sangat besar, baik potensi sumber daya manusia (SDA) maupun sumber daya alam (SDM). Sebut saja, potensi SDA, yang mana sepertiga penduduk dunia adalah umat Islam. Demikian juga dengan geografis yang dihuni oleh umat Islam menyimpan banyak energi dan barang tambang lainnya. Akan tetapi, belum semua potensi itu yang digunakan umat Islam. Hal ini dikarenakan rendahnya kemampuan dan lemahnya etos kerja. Padahal, ajaran agama mendorong agar umat Islam berusaha sekuat tenaga. Tidak ada konsep hidup bermalas-malasan sehingga menimbulkan kemiskinan dan melahirkan generasi yang lemah. Dari segi potensi kuantitas umat ini, belum adanya kesadaran untuk menjalin kesatuan dan persatuan, terutama sesama muslim. Ini juga bertentangan dengan konsep Islam. Umat Islam itu bersaudara, apakah itu persaudaraan keturunan, kekerabatan, daerah, dan apalagi persaudaraan agama.
Untuk membangkitkan potensi yang memang belum semuanya tergarap, step by step, kekuatan itu dicoba untuk dibangkitkan. Salah satu upaya yang selalu digencarkan masyarakat modern saat ini adalah dengan melakukan pemberdayaan. Dalam makalah ini, penulis mencoba memberdayakan kekuatan besar itu melalui pengukuhan jamaah.
B.   Pembahasan
1.    Definisi Manhaj
Sesungguhnya Allah SWT menjadikan bagi tiap-tiap umat, syariat dan manhaj, Ahli Taurat memiliki syariat sendiri, ahli Injil memiliki syariat sendiri demikian pula dengan ahli al-Quran. Mereka memiliki syariat-syariat yang berbeda di dalam masalah hukum. Definisi al-manhaj adalah  jalan yang nyata dan terang. Allah berfirman, “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, kami berikan syariat dan manhaj (al-Maidah: 48), yaitu syariat dan jalan yang terang lagi jelas. Raji Fauzi dalam id-id.facebook.com/notes/raji-fauzi, mengartikan manhaj adalah metodologi menerima, mengalisis dan menerapkan pengetahuan. Jika dihubungkan dengan ahlus sunnah, maka manhaj merupakan metodologi menerima, mengalisis dan menerapkan pengetahuan berdasarkan al-Quran dan Sunnah dan bersepakat di dalam masalah Tauhid (mengesakan) Allah Azza wa Jalla.
Makna Manhaj, dalam bahasa Arab adalah sebuah jalan terang yang ditempuh. Sebagaimana dalam firman Allah:


“Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu. Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.”

Kata minhaj, sama dengan kata manhaj. Kata minhaj dalam ayat tersebut diterangkan oleh Ibnu Abbas, maknanya adalah sunnah, jalan yang ditempuh dan sangat terang. Demikian pula Ibnu Katsir menjelaskan (lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/67-68 dan Mu’jamul Wasith). Yang diinginkan dengan pembahasan ini adalah untuk menjelaskan jalan yang ditempuh ahlus sunnah dalam mendapatkan ilmu agama. Dengan jalan itulah, insya Allah membawa keselamatan dari berbagai kesalahan atau kerancuan dalam mendapatkan ilmu agama. Inilah rambu-rambu yang harus dipegang dalam mencari ilmu agama.
Mengambil ilmu agama dari sumber aslinya yaitu al-Quran dan Sunnah. Allah berfirman, “Ikutilah apa yang diturunkan kepada kamu dari Rabb mu dan jangan kamu mengikuti para pimpinan selain-Nya. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran darinya.” (al- A’raf: 3). Rasulullah bersabda, “Ketahuilah bahwasanya aku diberi al-Quran dan yang serupa dengannya bersamanya.” (Shahih, HR. Ahmad dan Abu Dawud dari Miqdam bin Ma’di Karib. Lihat Shahihul Jami’ N0. 2643).
Syaikh Shalih al-Fauzan mengatakan, “Manhaj itu lebih luas dari pada akidah. Ada manhaj dalam berakidah, berperilaku, berakhlak, bermuamalah dan dalam semua sisi kehidupan seorang muslim. Seluruh langkah yang ditempuh oleh seorang muslim dalam seluruh aspek kehidupan itu disebut dengan istilah manhaj.
Syaikh Muqbil bin Hadi al Wadi’i mengatakan, “Manhaj kaum muslimin adalah seluruh ajaran al-Quran dan sunnah rasulullah sebagaimana yang Allah firmankan, “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara menyeluruh” (QS. al-Baqarah: 208).  Penjelasan ulama di atas bertemu pada titik yang sama yaitu manhaj atau minhaj seorang muslim sejati adalah seluruh ajaran al-Quran dan Sunnah. Seluruh ajaran al-Quran dan sunnah baik terkait dengan adab, akhlak, ibadah dan muamalah adalah manhaj/jalan seorang muslim.
Sehingga tidak berdusta, tidak khianat dan seterusnya adalah manhaj seorang muslim dalam masalah akhlak. Makan dengan tangan, dan lain-lain adalah manhaj seorang muslim dalam masalah adab. Rutin menjalankan shalat lima waktu adalah di antara manhaj seorang muslim dalam bidang ibadah. Tidak mau berjudi adalah di antara manhaj seorang muslim dalam bidang muamalah.

2.    Definisi dan Urgensi Jamaah
Jamaah adalah terma agama. Islam menyebutnya dengan jamaah, sedangkan jemaat merupakan istilah Kristen. Berkumpul (al-tajammu’), merupakan kenyataan penting untuk mengukuhkan agama Islam di dalam kehidupan umat. (Amahzun, 2005: 165). Bahkan, Islam tidak mungkin berdiri kokoh tanpa adanya jamaah yang senantiasa bersatu padu.
Kata jamaah semata-mata menunjukan suatu kelompok kecil masyarakat tetapi lebih luas dari keluarga yang hidup bersama menyelesaikan persoalan hidup mereka secara bersama baik dalam bidang ubudiah, maupun bidang kehidupan lainnya, seperti ekonomi, kesehatan, budaya dan politik (Mulkhan, 1996: 214). Apa yang disebut jamaah dalam konsep ini, lebih sesuai dengan kelompok dalam ilmu sosiologi. Bedanya terletak pada ikatan kebersamaan. Ikatan antar anggota jamaah tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor ekonomi, sosial, dan budaya. Akan tetapi, jamaah lebih menekankan pada ikatan dakwah Islam yang isinya termasuk faktor-faktor ekonomi, sosial, dan budaya. Tujuan jamaah adalah mewadahi setiap pribadi, menyelesaikan berbagai persoalan hidup sosial, dan didorong dengan semangat mengamalkan ajaran Islam.
Walaupun banyak aktivitas jamaah menyangkut aktivitas ekonomi dan kesehatan, tetapi didorong semangat yang tercantum dalam pokok ajaran Islam, ta’awun, tolong-menolong dalam berbagai masalah untuk mewujudkan kebaikan hidup. Jamaah adalah wadah bagi umat Islam dalam menjalankan ibadah. Di dalam jamaah, terdapat imam atau amir atau sultan, dan ada rukyah atau makmum atau rakyat. Sama halnya dalam shalat, ada imam ada makmum. Walaupun ribuan umat salat di masjid bersama, tapi tanpa ada imam, tidak bisa dikatakan salat berjamaah. Akan tetapi, walau hanya tiga orang, kalau salah satu maju menjadi imam, maka itu salat berjama'ah. Secara bahasa, jamaah berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti, berkumpul. Misalnya, jamaah pasar berarti perkumpulan orang yang ada di pasar. Jamaah menurut istilah dapat diartikan sebagai pelaksanaan ibadah secara bersama-sama yang dipimpin oleh seorang imam. Misalnya jamaah shalat, jamaah haji, dll.
3.    Manhaj Pembentukan Jamaah     
Amahzun (2005: xxi-xxiv) menjelaskan bahwa ada beberapa manhaj rasulullah dalam mengembangkan komunitas Islam di Mekah. Manhaj tersebut menyentuh bidang pengetahuan, pembinaan, perencanaan, dan sistem pelaksanaan. Adapun bidang pengetahuan meliputi pengetahuan tentang Allah, sunnah-sunnah Rabbaniyah, dan menjelaskan tujuan hijrah. Bidang pembinaan dilakukan melalui kejadian, pembinaan melalui amalan hati, pembinaan melalui akhlak, pembinaan yang komprehensif dan integral, dan teguh pada prinsip dan anti kompromi. Bidang perencanaan meliputi perencanaan permulaan dakwah tertutup, fase kedua dakwah terbuka, mencari dukungan dan mengetahui kondisi sosial, dan psikologis lingkungan dakwah. terakhir, bidang sistem pelaksanaan dakwah, baik dakwah sirriyah dalam jamaah yang tertutup, maupun pembinaan individu dalam ruang lingkup jamaah yang lebih besar.
Penjelasan Amahzun di atas mengarah pembicaraan pada manhaj dakwah Islam dalam pembentukan umat, dengan menggunakan kerangka berfikir kemanajemenan. Tahapan yang diberikan rasulullah dalam membentuk umat Islam, dapat diaplikasikan ke konsep yang lebih kecil dan konsep yang lebih besar. Konsep yang lebih kecil yang dimaksud adalah pembentukan jamaah, sedangkan konsep yang lebih besar adalah pembentukan dan pembinaan masyarakat global, seperti peristiwa yang terjadi di masa kejayaan Islam, yang mana sepertiga dunia memeluk ad-dien al-Islam.
Dalam kajian Sosiologi, jamaah mendekati pengertiannya dengan kelompok. David Cs (1985:107) memberikan definisi kelompok adalah agregat sosial di mana anggota-anggota yang saling tergantung, setidak-tidaknya memiliki potensi untuk berinteraksi satu sama lainnya. Ada batasan-batasan suatu kerumunan orang dikatakan kelompok jika ada peran sosial, kekompakan, berbicara, dan kepemimpinan, serta hubungan komunikasi. Batasan-batasan ini dimiliki oleh sistem jamaah yang dipimpin oleh seorang imam/pemimpin yang berfungsi sebagai pemandu. Akan tetapi, dalam makalah ini lebih mengarahkan kepada metode pembentukan jamaah, bukan proses terbentuknya kelompok.
Pada awal Islam berkembang, rasulullah menyeru secara diam-diam kepada kerabat dekat. Yang pertama diajarkan rasul adalah pengetahuan tentang aqidah atau keimanan. Setelah keimanan pengikut beliau diperkirakan tangguh, barulah beliau mengajarkan ibadah. Ini sebuah gambaran sejarah bagi generasi saat ini, bahwa untuk membentuk jamaah harus dimulai dengan memberikan pengetahuan tentang aqidah dan keimanan. Amahzun (2005: 165-166) mengutip firman Allah QS. al-‘Ashr: 1-3.

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”.

Menurut Amahzun, perintah menyampaikan risalah Tuhan, dari Allah ke Malaikat Jibril, diterima oleh Rasulullah Saw., lalu diteruskan oleh sahabat, tabi’in, tabi’it-tabi’in, ulama dan umat, tidak akan dapat berjalan dengan baik kalau tidak didukung dengan kesadaran berjamaah, segolongan umat yang beriman lagi beramal shaleh, untuk nasehat-menasehati dalam kebenaran dan nasehat-menasehati dalam kesabaran.
Nabi Muhammad Saw., pernah mengutus Muadz bin Jabal ke Negeri Yaman. Yang pertama diajarkan adalah mengenal Allah. Mengenal Allah merupakan ilmu tentang tauhid dan keimanan. Kemudian diajarkan kepada umat persoalan ibadah fardhu, dan ibadah yang memiliki nilai-nilai sosial (amal shaleh).
Munculnya jamaah dikarenakan beragam alasan sesuai kebutuhan masyarakat. Adakalanya mereka berkumpul karena alasan keagamaan, sosial, dan organisasi. Jamaah merupakan kelompok yang terbentuk karena kebutuhan yang bersifat keagamaan. Dalam perspektif pemberdayaan, jamaah akan terbentuk apabila kelompok tersebut menerima pengetahuan, menerima bujukan, putusan, mengimplementasikan, dan pemastian. Menerima pengetahuan maksudnya, sekumpulan orang yang akan dibina disadarkan akan potensi-potensi yang ada. Potensi jamaah adalah kebersamaan dalam menyelesaikan persoalan kehidupan, seperti problema kehidupan sosial, agama, ekonomi, politik, dan budaya. Pada tahap ini, pemberdaya berupaya menumbuhkan kesadaran berpikir tentang potensi jamaah dalam menjaga kelestarian agama, sosial dan budaya, serta keuntungan-keuntungan yang mungkin dapat diperoleh melalui berjamaah.
Menerima bujukan, maksudnya pemberdaya harus sabar mengajak dan menasehati calon jamaah agar segera berbuat dan mengikuti saran-sarannya. Pada tahap ini diupayakan agar jamaah dengan kesadaran pribadinya terdorong untuk melakukan action. Inilah yang harus diputuskan oleh sekelompok orang, agar segera berbuat bukan sekedar berpendapat. Tahap ini disebut juga tahapan menumbuhkan kesadaran bertindak bagi masyarakat.
Tahap putusan yang dimaksud adalah tahap masyarakat untuk segera mengambil kesimpulan, memulai aksi atau tidak. Beberapa tahap sudah dilewati, penumbuhan kesadaran untuk merubah pendapat (kesadaran berpikir), persuasif atau membujuk untuk ber-action, dan kini saatnya untuk memutuskan segera ber-action.
Penjelasan-penjelasan yang menerpa masyarakat, semua diproses dalam otak, dan melahirkan gerak atau tidak, untuk mengambil tindakan yang tepat. Jika pesan-pesan pada tahap sebelumnya berhasil menyentuh kesadaran masyarakat, maka kemungkinan besar pesan itu akan diimplementasikan dalam bentuk tindakan nyata.
Machendrawati dan Agus (2001: 31-32) memberikan rujukan kepada action yang dilakukan oleh rasulullah Saw., dalam membina umat Islam. Ada tiga tahapan yang harus dibangun, tahapan takwin, tanzim, dan taudi’. Tahap pertama, menginternalisasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat, kemudian mengekspresikan dalam ghirah dan sikap membela keimanan dari tekanan struktural (al-mala al-mutrafin) kaum penindas. Pada tahap ini, rasul melaksanakan dakwah untuk pembebasan. Menurut Amrullah Ahmad (1996: 67), pada tahap takwin, fundamen sosial Islam dalam bentuk akidah, ukhuwah Islamiyah, ta’awwun, dan shalat sudah dapat diterapkan kepada masyarakat. Tauhid menjadi instrument sosiologis dalam mempersatukan para sahabat dan masyarakat muslim.
Kedua, tahap tanzim terfokus program pada pembinaan dan penataan masyarakat. Pada fase ini, internalisasi dan eksternalisasi Islam muncul dalam bentuk institusional Islam secara komprehensif dalam realitas sosial. Misalnya, peristiwa hijrah Nabi dalam perspektif dakwah dilakukan ketika tekanan kultural, struktural, dan militer yang sangat mencekam sehingga jika tidak hijrah, bisa terjadi involusi kelembagaan dan menjadi lumpuh. Masyarakat yang sudah terkungkung dalam situasi sosio-kultural yang tidak mendukung, zalim dan merugikan karena diikat oleh tata nilai merendahkan sebagian golongan. Dengan berhijrah, masyarakat diajak meninggalkan kungkungan alam ini, menuju pandangan yang luas dan menyeluruh yang dapat menghilangkan kejumudan dan kemerosotan sosial, sehingga masyarakat yang jumud menjadi dinamis.
Ketiga, tahapan taudi’ adalah keterlepasan dan kemandirian. Pada tahap ini, jamaah telah siap menjadi masyarakat mandiri, terutama secara manajerial. Bila ketiga tahap ini telah dijalankan, bolehlah berharap akan munculnya suatu masyarakat Islam yang memiliki kualitas yang siap dipertandingkan dalam kelompok-kelompok masyarakat lain.
4.    Dakwah Jamaah dan Pemberdayaan Masyarakat
Pernyataan Hamka (1984: 216), untuk menghidupkan dakwah, sudah sepatutnya umat muslimin teguh menegakan jamaahnya dengan meramaikan masjid. Konsekuensi dari ide gerakan dakwah ini menjadikan masjid sebagai basis aktivitas dakwah. Dakwah jamaah adalah suatu model kegiatan dakwah yang menjadikan kehidupan jamaah sebagai sarana dakwah dan wadah untuk mencapai tujuan bersama. Dengan kata lain, dakwah jamaah ialah upaya mengembangkan dan membina kehidupan jamaah menjadi kehidupan yang lebih Islami (Mulkhan, 1996: 215).
Upaya dakwah bukan sekedar proses yang memperkenalkan manusia dengan Tuhan-nya. Akan tetapi, dakwah merupakan proses transformasi atau perubahan sosial. Dalam transformasi sosial di era modernitas, ada tujuh penyakit yang dapat merusak tatanan kehidupan sosial yang baik. Machendrawati dan Agus (2001: 34) mengutip pendapat Jalaluddin Rachmat yang dikutipnya dari Lyman, the seven deadly sins alias tujuh dosa maut, yaitu ketidakpedulian, nafsu, angkara murka, kesombongan, iri hati, lahap dan kerakusan. Tujuh hal ini bagian dari problem yang dihadapi masyarakat yang sedang bergerak menuju ke arah modern. Ini pula yang harus diwaspadai oleh para dai dan siapa saja yang concern terhadap berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat.
Dilihat dari kacamata kultural-psikologis, persoalan yang dikhawatirkan merusak visi dan misi perubahan, memerlukan penanganan yang serius. Itu berarti agama harus diturunkan sebagai wacana budaya yang diyakini bisa menjawab berbagai tantangan budaya kontemporer. Maksudnya, bukan menjadikan agama hanya sebuah kebudayaan melainkan realisasi nilai-nilai agama dapat mewarnai kebudayaan umat. Kajian ini sangat perlu dipahami, karena pembentukan jamaah pada hakikatnya mewujudkan khairul ummah di tengah komunitas global. Tanpa kesediaan menjadikan agama sebagai wacana budaya, menurut Mulkhan (1999: 3), gerakan dakwah ataupun gerakan pengembangan masyarakat akan mengalami kesulitan untuk secara sungguh-sungguh peduli terhadap penderitaan dan kemiskinan. Akan tetapi, dengan strategi pengembangan agama sebagai wacana budaya dan seni, maka dakwah Islam dan gerakan pengembangan masyarakat mungkin  bisa menempatkan diri sebagai pemeran strategis bagi sebuah Indonesia yang lebih baik.
Konsep dan strategi dakwah harus diarahkan pada pemecahan berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat di lapangan. Dakwah sebagai pemecahan masalah diharapakan akan menghasilkan tiga kondisi berikut, tumbuhnya kepercayaan dan kemandirian umat serta masyarakat sehingga berkembang sikap optimis, tumbuhnya kepercayaan terhadap kegiatan dakwah guna mencapai tujuan kehidupan yang lebih baik, dan berkembangnya suatu kondisi sosio-ekonomi-budaya-politik-iptek sebagai landasan peningkatan kualitas hidup atau peningkatan kualitas sumber daya umat. Dengan demikian, dakwah sebagai pemecahan masalah (problem solving) merupakan upaya yang demokratis bagi pengembangan dan peningkatan kualitas hidup sebagai bagian pemberdayaan manusia dan masyarakat dalam menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan objektif.
Melalui dakwah, pemecahan persoalan dan pengembangan masyarakat maka kelompok masyarakat yang kecilpun dapat dikembangkan menjadi komunitas sosial yang mempunyai kemampuan internal yang bekembang mandiri dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Dengan demikian, pengembangan kemampuan dan kualitas sumber daya umat dalam lingkup kecil, seperti keluarga atau jamaah, harus mendapatkan perhatian seluruh lembaga formal dakwah Islam, dan siapapun untuk melaksanakan dakwah yang terencana dan sistematis.
Manhaj pembentukan jamaah, maksudnya adalah cara-cara untuk membentuk jamaah. Ada beberapa tahapan dalam pembentukan jamaah, menerima pengetahuan, menerima bujukan, putusan, mengimplementasikan, dan kepastian. Selain itu, ada tiga tahapan untuk membentuk jamaah umat, takwin, tanzim, dan tuadi’. Pentingnya dipelajari manhaj pembentukan jamaah adalah untuk mengaktifkan kembali sistem dakwah rasulullah dalam upaya pengembangan komunitas Islam yang berkualitas agama, sosial, budaya, dan ekonomi. Aktualisasi nilai-nilai Islam melalui dakwah jamaah perspektif pemberdayaan masyarakat Islam.
Mempelajari manhaj pembentukan jamaah diharapkan munculnya gerakan dakwah jamaah yang tangguh, step by step, menuju pembangunan komunitas Islam yang berkualitas yang mampu bersaing di era globalisasi.

No comments:

Post a Comment