SISTEM PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT
A. Sejarah Pemberdayaan
Pemberdayaan adalah terjemahan dari empowerment,
sedangkan memberdayakan adalah terjemahan dari empower. Menurut Merriam
Webster dan Oxford English Dictionary, kata empower mengandung dua
pengertian, yaitu: (1) to give power atau authority to atau
memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak
lain; (2) to give ability to atau enable atau usaha untuk memberi
kemampuan atau keperdayaan.
Beberapa literatur menyebutkan, bahwa konsep pemberdayaan
sudah lahir sejak revolusi industri atau ada juga yang menyebut sejak lahirnya
Eropa modern pada abad 18 atau zaman renaissance, yaitu ketika orang
mulai mempertanyakan determinisme keagamaan. Kalau pemberdayaan dipahami
sebagai upaya untuk keluar atau melawan determinisme gereja serta monarki, maka
pendapat bahwa gerakan pembedayaan mulai muncul pada abad pertengahan barangkali
benar.
Konsep
pemberdayaan mulai menjadi diskursus pembangunan, ketika orang mulai
mempertanyakan makna pembangunan. Di Eropa, wacana pemberdayaan muncul ketika
industrialisasi menciptakan masyarakat penguasa faktor produksi dan masyarakat
yang pekerja yang dikuasai. Di negara-negara sedang berkembang, wacana
pemberdayaan muncul ketika pembangunan menimbulkan disinteraksi sosial,
kesenjangan ekonomi, degradasi sumber daya alam, dan alienasi masyarakat dari
faktor-faktor produksi oleh penguasa. [1]
Karena kekurang-tepatan pemahanan mengenai pemberdayaan,
maka dalam wacana praktik pembangunan, pemberdayaan dipahami secara beragam.
Yang paling umum adalah pemberdayaan disepadankan dengan partisipasi. Padahal
keduanya mengandung pengertian dan spirit yang tidak sama.
B. Konsep Pemberdayaan
Konsep pemberdayaan lahir sebagai antitesis terhadap
model pembangunan dan model industrialisasi yang kurang memihak pada
rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun dari kerangka logik sebagai
berikut:
1. Bahwa
proses pemusatan kekuasan terbangun dari pemusatan penguasaan faktor
produksi;
2. Pemusatan
kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan
masyarakat yang pengusaha pinggiran;
3. Kekuasaan
akan membangun bangunan atas atau sistem pengetahuan, sistem politik, sistem
hukum, dan ideologi yang manipulatif untuk memperkuat dan legitimasi; dan
4. Kooptasi
sistem pengetahuan, sistem hukum, sistem politik, dan ideologi, secara
sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya
dan masyarakat tunadaya.[2]
Akhirnya yang terjadi adalah dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan manusia yang
dikuasai. Untuk membebaskan situasi menguasai dan dikuasai, maka
harus dilakukan pembebasan melalui proses pemberdayaan bagi yang dikuasai (empowerment
of the powerless). Pengalaman empirik dan pengalaman historis dari format
sosial ekonomi yang dikotomi ini telah melahirkan berbagai pandangan mengenai
pemberdayaan.
Pandangan pertama, pemberdayaan adalah penghancuran
kekuasaan atau power to nobody. Pandangan ini didasari oleh
keyakinan, bahwa kekuasaan telah menterasingkan dan menghancurkan manusia dari
eksistensinya. Oleh sebab itu untuk mengembalikan eksistensi manusia dan
menyelamatkan manusia dari keterasingan dan penindasan, maka kekuasaan harus
dihapuskan.
Pandangan kedua, pemberdayaan adalah pembagian kekuasaan
kepada setiap orang (power to everybody). Pandangan ini didasarkan pada
keyakinan, bahwa kekuasaan yang terpusat akan menimbulkan abuse dan
cenderung mengalienasi hak normatif manusia yang tidak berkuasa atau yang
dikuasi. Oleh sebab itu, kekuasaan harus didistribusikan ke semua orang, agar
semua orang dapat mengaktualisasikan diri.
Pandangan ketiga, pemberdayaan adalah penguatan kepada
yang lemah tanpa menghancurkan yang kuat. Pandangan ini adalah pandangan yang
paling moderat dari dua pandangan lainnya. Pandangan ini adalah antitesis dari
pandangan power to nobody dan pandangan power to everybody.
Menurut pandangan ini, power to nobody adalah kemustahilan dan power
to everybody adalah chaos dan anarki. Oleh sebab itu menurut
pandangan ketiga, yang paling realistis adalah power to powerless.[3]
Ketiga pandangan tersebut di atas, kalau
dikaji secara seksama, ternyata berpengaruh cukup signifikan dalam konsep dan
praksis pemberdayaan.
Di lapangan, paling tidak ada 3 konsep
pemberdayaan.
1. Pemberdayaan yang hanya berkutat di ‘daun’
dan ‘ranting’ atau pemberdayaan konformis. Karena struktur sosial,
struktur ekonomi, dan struktur ekonomi sudah dianggap given, maka
pemberdayaan adalah usaha bagaimana masyarakat tunadaya harus menyesuaikan
dengan yang sudah given tersebut. Bentuk aksi dari konsep ini merubah
sikap mental masyarakat tunadaya dan pemberian santunan, seperti misalnya
pemberian bantuan modal, pembangunan prasarana pendidikan, dan sejenisnya.
Konsep ini sering disebut sebagai magical paradigm.
2. Pemberdayaan yang hanya berkutat di ‘batang’
atau pemberdayaan reformis. Artinya, secara umum tatanan sosial, ekonomi,
politik dan budaya, sudah tidak ada masalah. Masalah ada pada kebijakan
operasional. Oleh sebab itu, pemberdayaan gaya ini adalah mengubah dari top
down menjadi bottom up, sambilmengembangkan sumberdaya manusianya,
menguatkan kelembagaannya, dan sejenisnya. Konsep ini sering disebut sebagai naïve
paradigm.
3. Pemberdayaan yang hanya berkutat di ‘akar’
atau pemberdayaan struktural. Karena tidak berdayaan masyarakat disebabkan oleh
struktur politik, ekonomi, dan sosial budaya, yang tidak memberi ruang bagi
masyarakat lemah untuk berbagi kuasa dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial
budaya, maka stuktur itu yang harus ditinjau kembali. Artinya, pemberdayaan
hanya dipahami sebagai penjungkir balikan tatanan yang sudah ada. Semua tatanan
dianggap salah dan oleh karenanya harus dihancurkan, seperti misalnya
memfasilitasi rakyat untuk melawan pemerintah, memprovokasi masyarakat miskin
untuk melawan orang kaya dan atau pengusaha, dan sejenisnya.
Singkat kata, konsep pemberdayaan masyarakat yang hanya
berkutat pada akar adalah penggulingan the powerful. Konsep ketiga ini
sering disebut sebagai critical paradigm. Oleh Pranarka dan Moelyarto
(1996), karena kesalah-pahaman mengenai pemberdayaan ini, maka menimbulkan
pandangan yang salah, seperti bahwa pemberdayaan adalah proses penghancuran
kekuasaan, proses penghancuran negara, dan proses penghancuran pemerintah.
Menurut Karl Marx, pemberdayaan masyarakat adalah proses
perjuangan kaum powerless untuk memperolah surplus value sebagai
hak normatifnya. Perjuangan memperoleh surplus value dilakukan melalui
distribusi penguasaan faktor-faktor produksi. Dan perjuangan untuk
mendistribusikan penguasaan faktor-faktor produksi harus dilakukan melalui
perjuangan politik. Kalau menurut Marx, pemberdayaan adalah pemberdayaan
masyarakat, maka menurut Fiedmann,[4]
pemberdayaan harus dimulai dari rumah tangga. Pemberdayaan rumah tangga adalah
pemberdayaan yang mencakup aspek sosial, politik, dan psikologis.
Yang dimaksud dengan pemberdayaan sosial adalah usaha
bagaimana rumah tangga lemah memperoleh akses informasi, akses pengetahuan dan
keterampilan, akses untuk berpartisipasi dalam organisasi sosial, dan akses ke
sumber-sumber keuangan. Yang dimaksud dengan pemberdayaan politik adalah usaha
bagaimana rumah tangga yang lemah memiliki akses dalam proses pengambilan
keputusan publik yang mempengaruhi masa depan mereka. Sedangkan pemberdayaan
psikologis adalah usaha bagaimana membangun kepercayaan diri rumah tangga yang
lemah.
Selain Karl Marx dan Friedmann, masih banyak pandangan
mengenai pengertian pemberdayaan, seperti Hulme dan Turner (1990), Robert Dahl
(1963), Kassam (1989), Sen dan Grown (1987), dan Paul (1987), yang pada
prinsipnya adalah bahwa pemberdayaan adalah penguatan masyarakat untuk dapat
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi masa
depannya, penguatan masyarakat untuk dapat memperoleh faktor-faktor produksi,
dan penguatan masyarakat untuk dapat menentukan pilihan masa depannya.
Berbagai pandangan mengenai
konsep pemberdayaan, maka dapat disimpulkan, bahwa pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah penguatan kepemilikan faktor-faktor produksi, penguatan
penguasaan distribusi dan pemasaran,
penguatan masyarakat untuk mendapatkan gaji/upah yang memadai, dan penguatan masyarakat untuk memperoleh
informasi, pengetahuan dan keterampilan,
yang harus dilakukan secara multi aspek, baik dari aspek masyarakatnya sendiri, maupun aspek
kebijakannya. Karena persoalan atau isu strategis perekonomian
masyarakat bersifat lokal spesifik dan problem spesifik, maka konsep dan
operasional pemberdayaan ekonomi masyarakat tidak dapat diformulasikan secara
generik.
Usaha memformulasikan konsep, pendekatan, dan bentuk
operasional pemberdayaan ekonomi masyarakat secara generik, memang penting,
tetapi yang jauh lebih penting, adalah pemahaman bersama secara jernih terhadap
karakteristik permasalahan ketidak berdayaan masyarakat di bidang ekonomi.
Sebab dengan pemahaman yang jernih mengenai ini, akan lebih produktif dalam
memformulasikan konsep, pendekatan, dan bentuk operasional pemberdayaan ekonomi
masyarakat yang sesuai dengan karakteristik permasalahan lokal.
C. Sistem Pemberdayaan
Ekonomi Islam
Ekonomi Islam adalah
sains sosial yang mengkaji persoalan ekonomi yang dijiwai dengan nilai-nilai Islam.[5]
Hasanuzzaman juga menjelaskan salah satu cara mendefenisikan ekonomi Islam
adalah dengan menggabungkan ekonomi modern dengan ekonomi Islam. Oleh sebab itu
ekonomi Islam adalah suatu ilmu yang mempelajari ekonomi dalam prinsip Islam
atau membawa ekonomi sejalan dengan syariah.[6]
Ekonomi Islam merupakan bagian dari sistem Islam yang menyeluruh. Berbeda
dengan halnya sistem ekonomi sebagai hasil penemuan manusia.
Dalam ekonomi Islam,
antara agama dan ekonomi mesti terlihat jelas dan mempunyai hubungan timbal balik. Alam yang diperuntukkan
bagi manusia dikelola sesuai dengan tujuan penciptaan. Oleh sebab itu, semua
aktivitas manusia yang bersifat muamalat tidak terlepas dari hubungan yang erat
antara ekonomi dengan agama. Adapun ciri-ciri ekonomi Islam dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Ekonomi
Islam merupakan bagian dari sistem Islam
secara keseluruhan dan keyakinan satu bagian saja dari sistem Islam.
2. Ekonomi
Islam merealisasikan keseimbangan antara kepentingan individu dengan masyarakat. Cita-cita
ekonomi Islam adalah untuk merealisasikan kekayaan dan kesejahteraan hidup dan
keuntungan umum bagi masyarakat, bukan untuk menciptakan persaingan, monopoli
dan sikap mementingkan diri sendiri.
Banyak dilihat sekarang tentang sistem pemberdayaan
ekonomi umat, baik yang diberikan oleh
pemerintah maupun dari pihak luar negeri. Akan tetapi, pemberdayaan tersebut
banyak yang tidak berhasil di tengah-tengah masyarakat. Hal ini disebabkan
karena sistem yang diberikan dengan cara konvesional. Contoh diberikan pinjaman
dari pihak bank kepada masyarakat miskin dengan memakai sistem bunga. Walaupun
bunga peminjaman itu besar tetap diambil oleh pemanfaat/nasabah. Hal itu
terjadi karena banyak masyarakat yang tidak mengerti dengan sistem perekonomian
secara syariah atau perbankan syari’ah.
Faktor penyebab lemahnya pengetahuan masyarakat tentang
bank syariah karena kurangnya sosialisasi dan rendahnya sumber daya manusia
yang mengetahui sistem perbankan syariah. Ini terlihat dari banyaknya
banker-banker yang berasal dari perbankan konvensional yang menjadi banker di
bank-bank syariah. Kalau ini dibiarkan terus maka akan terjadi manipulasi dalam
hal produk syariah yang akan ditawarkan kepada masyarakat. Akhirnya yang dijalankan
oleh banker itu produk konvensional yang dibungkus dengan kemasan syari’ah.
D. Solusi Pemberdayaan
Ekonomi Umat
Peran strategis zakat untuk mensejahterakan umat, bukan
hanya janji kosong ataupun angan-angan. Ia telah terbukti begitu efektif sedari
zaman kekhalifahan Umar bin Khathab. Abu Ubaid menuturkan bahwa Mu’adz bin Jabal pernah
mengirimkan hasil zakat yang dipungutnya di Yaman kepada khalifah Umar, karena
beliau tidak lagi menemukan mustahiq zakat di Yaman, tetapi dikembalikan oleh Umar. Mu’adz kemudian mengirimkan
sepertiga hasil zakat itu yang kembali ditolak oleh Umar. Beliau berkata, “Saya tidak
mengutusmu sebagai kolektor upeti, tetapi aku mengutusmu untuk memungut zakat dari orang kaya di sana dan dibagikan kepada kaum
miskin di antara mereka juga.” Mu’adz
menjawab, “Kalau di sana
saya temukan orang miskin, buat apa saya susah-susah mengirimkannya kepada
anda.” Pada tahun kedua, kembali Mu’adz mengirimkan separuh dari hasil zakat
yang dipungutnya, dan Umar kembali menolaknya, begitu juga di tahun ketiga,
kiriman tersebut dikembalikan oleh Umar. Mu’adz berkata, “Saya tidak menjumpai
seorangpun yang berhak menerima bagian zakat yang saya pungut.”[7]
Sebuah potret yang begitu mengagumkan, apalagi negara kita
adalah negara muslim terbesar di dunia,
yang secara logika sederhana, muzakki-nya (pembayar zakat) tentu sangat
banyak. Kalau
ini bisa dimaksimalkan,
tentu umat Islam segera
bebas dari lilitan hutang dan berdiri dengan penuh marwah dan kehormatan. Akan
tetapi, banyak ekonom yang meragukan keampuhan zakat. Mereka berpendapat bahwa
zakat tidak memiliki pengaruh yang signifikan karena parsentasenya sangat
kecil, yaitu hanya 2,5 persen. Bagaimana mungkin zakat akan mampu mempengaruhi,
misalnya, pertumbuhan ekonomi suatu negara dengan persentase sebesar itu.
Munculnya keragu-raguan tersebut adalah karena hingga saat
ini belum ada satu negara muslim pun yang dapat dijadikan sebagai model yang
tepat. Malaysia sebagai contoh, memiliki keunggulan dalam hal penghimpunan
zakat dibandingkan Indonesia. Namun demikian, dalam hal pendayagunaan zakat,
justru Indonesia yang lebih unggul dibandingkan Malaysia. Indonesia memiliki
kreativitas yang lebih tinggi dibandingkan negara-negara muslim lainnya dalam
hal pemberdayaan dana zakat, infak dan sedekah (zis). Akan tetapi, dana zakat yang ada
di Indonesia jumlahnya masih sangat kecil, yaitu kurang dari 1 persen dari
total GDP, maka seolah-olah zakat tidak mempengaruhi perekonomian Indonesia secara
makro. Tentu saja itu adalah anggapan yang salah.
E. Agenda
Pengelolaan Zakat
Metoda pengoptimalkan zakat bagi kesejahteraan ummat, memiliki
beberapa hal yang menjadi fokus kajian;
1. Mengoptimalkan kerja Lembaga ‘Amil
Zakat (LAZ)
2. Memperluas cakupan objek zakat yang
sesuai dengan kaidah syari’ah. Menurut Dr. Didin Hafiduddin mengatakan sumber
zakat dalam Islam menggunakan dua pendekatan, yakni pendekatan ijmali/global
segala macam harta yang dimiliki yang memenuhi persyaratan zakat. Dengan pendekatan
ini semua jenis harta yang belum ada di zaman
Rasulullah, tetapi karena perkembangan ekonomi, menjadi benda yang bernilai,
maka harus dikeluarkan zakatnya. Adapun pendekatan kedua yakni pendekatan tafshili/terinci,
yaitu menjelaskan berbagai jenis harta yang apabila telah memenuhi persyaratan
zakat, wajib dikeluarkan zakatnya.[8]
3. Mengembangkan harta zakat menjadi usaha produktif
Simposium Yayasan
Zakat Internasional III, yang diselenggarakan di Kuwait pada 2 Desembar 1992
mengeluarkan fatwa bahwa harta zakat boleh diinvestasikan dengan syarat:
1.
Harta tersebut
tidak dibutuhkan segera.
2.
Investasi dilakukan
dalam bidang yang legal.
3. Ada jaminan bahwa modal investasi tetap sebagai uang
zakat.
4. Uang mudah
dicairkan ketika mustahiq zakat sangat membutuhkan segera.
5. Ada jaminan bahwa usaha tersebut menguntungkan.
Simposium juga
memfatwakan bolehnya harta zakat untuk membangun proyek jasa seperti rumah sakit,
perpustakaan, sekolah, dan lain-lain dengan syarat:
1. Pihak yang mendapakan jasa tersebut adalah mustahiq zakat
saja, sedangkan selain mereka hanya dibolehkan dengan dipungut biaya.
2. Modal tetap atas nama mustahiq, sekalipun bukan mereka
yang mengelola langsung.
3. Bila proyek tersebut dijual maka hasilnya tetap berstatus
uang zakat.
Demikian sebaiknya harta zakat lebih dimaksimalkan untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat, seperti diinvestasikan atau menjadi modal
usaha nelayan, dijadikan modal untuk budi daya rumput laut dan banyak lagi yang
bisa dikerjakan dalam memaksimalkan dana zakat bagi usaha yang lebih produktif,
tentu dengan tetap memperhatikan kaedah-kaedah syar’i. Mudah-mudahan ini
menjadi solusi bagi pengentasan kemiskinan umat.
Pemberdayaan
sudah ada sejak lama, semenjak manusia mengenal kebudayaan. Pemberdayaan dapat
diartikan dengan to give power atau
authority to atau memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau
mendelegasikan otoritas ke pihak lain; to give ability to atau enable
atau usaha untuk memberi kemampuan atau keperdayaan. Konsep
pemberdayaan mulai menjadi diskursus pembangunan, ketika orang mulai
mempertanyakan makna pembangunan. Banyak konsep yang dilahirkan oleh para ahli di bidangnya.
Masing-masing memberikan pandangan yang berbeda, namun dapat dipastikan tujuan
mereka sama.
Begitupun
dengan sistem ekonomi Islam, para pakarnya mencoba untuk menggabungkan sistem
ekonomi Islam dengan ekonomi modern. Seperti lahirnya beberapa bank yang
mencoba memadukan konsep modern dengan konsep syariah. Akan tetapi yang banyak
ditemukan sekarang adalah bank-bank yang berselimutkan syari’ah, namun ternyata
konvensional.
Ajaran Islam
memberi beberapa tawaran solusi pemberdayaan masyarakat salah satunya dengan
zakat. Zakat merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh umat Islam. Ini tertuang
dalam rukun Islam yang ketiga. Zakat mempunyai peranan yang sangat dinamis dan
strategis. Hal ini sudah terbukti nyata pada masa kekhalifahan Umar Bin
Khatab.
[1]
Mardi Yatmo Hutomo, SU adalah Staf Pengajar pada Fakultas
Pertanian Universitas Wangsamanggala Yogyakarta. Pokok-pokok pikiran dalam
tulisan ini pernah disampaikan pada Seminar Sehari Pemberdayaan Masyarakat yang
diselenggarakan BAPPENAS, Tanggal 6 Maret 2000 di Jakarta.
[2] Projono, O.S dan
Pranarka, A.M.W (1996). Pemberdayan: Konsep, Kebijakan dan Implementasi. CSIS; Jakarta h.: 269: 1-4.
[3] Mengenai
ketiga pandangan ini (Power To Nobody, Power To Verybody, dan Power
To Powerless) dapat dibaca pada tulisan A.M.W. Pranarka dan Vidhyandika
Moeljarto mengenai Pemberdayaan (Empowerment) Cit Pemberdayaan:
Konsep, kebijakan dan Implementasi. Onny S. Prijono dan A.M.W Pranarka
(penyunting); 1996; hal. 45-70. CSIS; Jakarta.
[4] Pendekatan
Friedmann, sebenarnya pendekatan keluarga. Friedmann memiliki pandangan bahwa
setiap rumah tangga memiliki tiga macam kekuatan, yaitu kekuatan sosial,
kekuatan politik, dan kekuatan psikologis. Pandangan Friedmann ini kemudian
menghasilkan rumusan mengenai pemberdayaan sebagai proses untuk masyarakat
lemah memperoleh kekuatan dan akses terhadap sumberdaya. Baca,
Friedmann (1992): Empowement: the Politics of Alternative Development.
Cambridge Mass: Blackwell Publisher.
[5] Ekonomi
Islam dikatakan sebagai sains sosial, karena Ilmu Ekonomi mempelajari kehidupan
manusia bermasyarakat (termasuk ilmu sosiolagi dalam arti yang terbatas). M.A
Manan, Islamic Economics Theory and Practice, Idarah Adabiyat: Delhi, 1970),
hal. 3
[6] Hasanuzzaman,
Defening Islamic Economic, Jurnal Of Islamic Banking and Finance, vol 8
April-Juni, 1991, hal. 14
[7]
Qardhawi, Yusuf, Hukum
Zakat, Bogor, Lintera Antar Bangsa, 2002
[8] DR. KH. Didin Hafidhuddin, M. Sc,
Zakat Dalam Perekonomian Modern, 2002, Penerbit: Gema Insani, h. 15-16.