PENGERTIAN, ARAH DAN TUJUAN DAKWAH DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT ISLAM
MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI
TUGAS MATA KULIAH DESAIN DAN SKENARIO PMI
OLEH :
MAYA INDAH LESTARI
NIM. 14 303 00011
DOSEN
PEMBIMBING :
Zilfaroni, S.Sos. I M.A
JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM SEMESTER VII
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PADANGSIDIMPUAN
TAHUN AKADEMIK 2017/2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat
Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, dan karunianya sehingga
makalah ini berhasil diselesaikan dengan judul “Pengertian, Arah dan Tujuan Dakwah Dan Pemberdayaan
Masyarakat Islam
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas makalh kuliah Desain Skenario PMI. Diharapkan makalah ini bermanfaat untuk kita
semua dalam menambah pemahaman dan pengaplikasian kita mengenai Desain Skenario
PMI.
Saya
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, sebab kita sebagai
manusia biasa biasa yang tak luput dari kekasalahan. Pepatah mengatakan,” Tak ada gading yang tak retak” oleh karena
itu, saya mengharapkan kritik maupun saran yang bersifat membangun untuk
menyempurnakan makalah ini.
Akhir kata saya ucapkan
terimakasih, semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kedepannya.
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................ i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Dakwah...................................................................................................... 3
B.
Pengertian
Pemberdayaan Masyarakat Islam............................................................... 6
C.
Arah
Dakwah dan Pemberdayaan Masyarakat Islam.................................................. 12
D.
Tujuan
Dakwah dan Pemberdayaan Masyarakat Islam............................................... 14
BAB III PENUTUP................................................................................................................ 17
Kesimpulan.............................................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................. 18
BAB
I
PENDAHULUAN
Sejarah
sosial umat Islam lahir, tumbuh dan berkembang tidak bisa dipisahkan dengan
riwayat jatuh bangunnya proses sosial umat Islam dalam berdakwah, secara
teologis dakwah dianggap (mission sacre) proyek berpahala dan kedudukan
dakwah itu sendiri bersifat conditio sine quanon adanya, tidak tercegah
dan inheren.
Prof.
Max Muller, pada tahun 1873 ketika menyampaikan kuliah di Westminster Abbey
Inggris di hadapan pertemuan misi mengemukakan bahwa enam agama besar di dunia
dapat digolongkan kepada agama dakwah (Missionary Religion) dan agama
nondakwah (Non Missionary Religion). Menurut Max Muller yang tergolong
kedalam agama dakwah (Missionary Religion) adalah Budha, Kristen dan Islam,
sedangkan yang tergolong ke dalam agama nondakwah (Non Missionary Religion)
adalah Yahudi, Brahma dan Zoroaster.
Prof.
Muller memberi batasan bahwa yang dimaksud dengan agama dakwah adalah “agama
yang di dalamnya terdapat usaha menyebarluaskan kebenaran dan mengajak
orang-orang yang belum memercayainya dianggap sebagai tugas suci oleh
pendirinya atau oleh penggantinya. Semangat memperjuangkan kebenaran itulah
yang tak kunjung padam dari jiwa para penganutnya sehingga kebenaran itu
terwujud dalam pikiran, kata-kata dan perbuatan, semangat yang membuat mereka
merasa tidak puas sampai berhasil menanamkan nilai kebenaran itu ke dalam jiwa
setiap orang, sehingga apa yang diyakini sebagai kebenaran diterima oleh
seluruh manusia.”[1]
Sebagaimana
defenisi tersebut, tidak dapat disangkal lagi bahwa islam termasuk agama dakwah.
Hal ini berlangsung sejak awal mula Islam disebarkan oleh Nabi Muhammad SAW,
Islam telah dikembangkan sebagai agama dakwah.
Nabi
Muhammad SAW juga mengatakan dalam pesannya “Sampaikan apa yang kamu terima
dariku meski satu ayat” karenanya wajar dalam pentas sejarah pendekatan
kerja dakwah terus terlahir, baik yang bersifat teknis operasional maupun yang
konseptual, tentu saja tidak bisa dilepas dengan konteks sosial, realititas
yang spesifik, dakwah bersifat dinamis seiring dengan perkembangan laju persoalan
dan kebutuhan masyarakat.
Masyarakat dalam kehidupan selalu
mengalami perubahan-perubahan, baik perubahan yang alami maupun yang dirancang
oleh masyarakat itu sendiri. Perubahan itu tidak selalu lebih baik bahkan
sering terjadi sebaliknya.
Sebagai
akibat dari terjadinya perubahan-perubahan tersebut, kebutuhan manusia juga
semakin berubah, baik dalam ragam, jumlah dan bentuk-bentuk kebutuhannya. Dari
jumlah kebutuhan telah terjadi perubahan, semula lebih mengutamakan jumlah dan
kemudian bergeser kepada lebih mengutamakan mutu (bahan). Hal tersebut dapat
kita lihat seperti pada pakaian, perumahan dan sebagainya. Perubahan yang
terjadi tidak hanya dari segi ragam dan jumlah, tetapi juga dari segi bentuk
kualitas. Untuk pangan akhir-akhir ini terjadi perubahan dalam penyajian dan
mutu bahan (pangan vegetarian, fast food, junk food, pangan organik,
dll). Perubahan kebutuhan pakaian juga telah mengalami perubahan rancangan
(design,mode) sesuai dengan tempat waktu penggunaannya.[2]
Dalam mengikuti perubahan kebutuhan yang semakin beragam, manusia dengan
berbagai cara melakukan upaya-upaya untuk memenuhi tuntutan perubahan tersebut.
Manusia secara sadar ataupun tidak akan mengalami krisis identitas dirinya
sebagai makhluk yang mulia disisi Allah maupun bagi sesamanya dalam memenuhi
keinginannya.
Yang
tidak kalah mencengangkan adalah perubahan dalam bidang teknologi komunikasi.
Kemajuan di bidang teknologi komunikasi tidak hanya berciri vertikal, tetapi
juga berdimensi horizontal. Tidak ada lagi wilayah di dunia yang tidak
terjangkau oleh komunikasi canggih (global syndrome).[3]
Masih adakah negara di dunia ini yang mempunyai pilihan lain dari keharusan
menerrima kehadiran komuter, televisi, videotext, teletext, telepon global,
sistem komunikasi interaktif, internet dan komunikasi digital?
Alvin
Toffler dalam The Third Wave (1980), meramalkan bahwa revolusi informasi memang
sedang menggetarkan sendi-sendi masyarkat di seluruh dunia. Gemanya pun semkain
terasa disemua negara yang sedang berkembang, termasuk negara-negara Islam.[4]
Untuk
menghadapi berbagai tantangan dan perubahan terrsebut, dakwah merrupakan suatu
yang sangat relevan untuk dikembangkan di era teknologi dan informasi ini.
Selain itu, penyampaian dakwah juga harus mengalami perubahan-perubahan sesuai
dengan transformasi sosial yang berkembang seiring dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Dakwah
Secara
etimologis, kata “dakwah” berasal dari Bahasa Arab yang mempunyai arti:
panggilan, ajakan dan seruan. Sedangkan dalam ilmu tata bahasa Arab, kata
dakwah adalah bentuk dari isim mashdar yang berasal dari kata kerja دعا – يدع –
دعوة artinya: menyeru,
memangggil dan mengajak.
Dalam
pengertian yang integralistik dakwah merupakan suatu proses yang
berkesinambungan yang ditangani oleh para pengemban dakwah untuk mengubah
sasaran dakwah agar bersedia masuk ke jalan Allah, dan secara bertahap menuju
perikehidpan yang Islami. Oleh karenanya perlu memperhatikan unsur penting
dalam berdakwah sehingga dakwah menghasilkan perubahan sikap bagi mad’u.
Sedangkan ditinjau dari sei terminologi, banyak sekali perbedaan pendapat
tentang defenisi dakwah di kalangan para ahli, antara lain:
Menurut
A. Hasmy dakwah yaitu mengajak orang lain untuk meyakini dan mengamalkan akidah
dan syariat Islam yang terlebih dahulu telah diyakini dan diamalkan oleh
pendakwah itu sendiri.[5]
Menurut
Amrullah Ahmad .ed., dakwah Islam merrupakan aktualisasi, Imani (teologis) yang
dimanifestasikan dalam susatu sistem kegiatan manusia beriman dalam bidang
kemasyarakatan yang dilaksansakan secara teratur untuk mempengaruhi cara
merasa, berpikir, bersikap dan bertindak manusia pada tataran kegiatan
individual dan sosio kultural dalam rangka mengesahkan terwujudnya ajaran Islam
dalam semua segi kehidupan dengan cara tertentu.[6]
Menurut
Amin Rais, dakwah adalah gerakan silmultan dalam berbagai bidang kehidupan
untuk mengubah status quo agar
nilai-nilai Islam memperoleh kesempatan untuk tumbuh subur demi kebahagiaan
seluruh umat manusia.[7]
Menurut
Farid Ma’ruf Noor, dakwah merupakan suatu perjuangan hidup untuk menegakkan dan
menjunjung tinggi undang-undang Ilahi dalam seluruh aspek kehidupan manusia dan
masyarakat sehingga ajaran Islam menjadi shibghah yang mendasari,
menjiwai dan mewarnai seluruh sikap dan tingkah laku dalam hidup dan
kehidupannya.[8]
Menurut
Abu Bakar Atjeh, dakwah adalah seruan kepada semua manusia untuk kembali dan
hidup sepanjang ajaran Allah yang benar, yang dilakukan dengan penuh
kebijaksanaan dan nasehat yang baik.[9]
Menurut
Toha Yahya Umar, dakwah adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana ke jalan
yang benar sesuai dengan perintah Tuhan, untuk keselamatan dan kebahagiaan
dunia akhirat.[10]
Dari
beberapa defenisi tersebut paling tidak dapat diambil kesimpulan tentang
dakwah:
1.
Dakwah
itu adalah suatu usaha yang dilakukan dengan sadar dan terencana.
2.
Usaha
dakwah itu adalah untuk memperbaiki situasi yang lebih baik dengan mengajak
manusia untuk selalu ke jalan Allah AWT.
3.
Proses
menyelenggarakan itu adalah untuk mencapai tujuan yang bahagia dan sejahtera,
baik di dunia maupun di akhirat.
Dalam
kaitannya dengan makna dakwah, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan secara
seksama, agar dakwah dapat dilaksanakan dengan baik.
Pertama, dakwah sering disalah
artikan sebagai pesan yang datang dari luar. Pemahaman ini akan membawa
konsekuensi kesalahlangkah-an dakwah, baik dalam formulasi pendekatan atau
metodologis, maupun formulasi pesan dakwahnya. Karena dakwah dianggap dari
luar, maka langkah pendekatan lebih diwarnai dengan pendekatan interventif, dan
para dai lebih mendudukkan diri sebagai orang asing, tidak terkait dengan apa
yang dirasakan dan dibutuhkan oleh masyarakat.
Kedua,
dakwah sering diartikan menjadi sekadar ceramah dalam arti sempit.
Kesalahan ini sebenarnya sudah sering diungkapkan, akan tetapi dalam
pelaksanaannya tetap saja terjadi penciutan makna, sehingga orientasi dakwah
sering pada hal-hal yang bersifat rohani saja. Istilah “dakwah pembangunan”
adalah contoh yang menggambarkan seolah-olah ada dakwah yang tidak membangun
atau dalam makna lain, dakwah yang pesan-pesannya penuh dengan tipuan sponsor.
Ketiga,
masyarakat yang dijadikan sasaran dakwah sering dianggap masyarakat
yang vakum atau steril, padahal dakwah sekarang ini berhadapan dengan satu
setting masyarakatdengan beragam corak dan keadaaannya, dengan berbagai
persoalannya, masyarakat yang serba nilai dan majemuk dalam tata kehidupannya,
masyarakat yang berubah dengan cepatnya, yang mengarah pada masyarakat
fungsional, masyarakat teknologis, masyarakat saintifik dan masyarakat terbuka.
Keempat,
sudah menjadi tugas manusia untuk menyampaikan saja (al-Ghaasyiah:
21-22), sedangkan masalah akhir dari kegiatan dakwah diserahkan sepenuhnya
kepada Allah SWT. Allah sajalah yang mampu memberikan hidayah dan aufik-Nya
kepada manusia. Rasulullah SAW sendiripun tidak mampu memberikan hidayahnya
kepada orang yang dicintainya (Al-Qashash: 56). Akan tetapi, sikap ini tidaklah
berarti menafikan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi dari kegitan dakwah
yang dilakukan. Dakwah, jika ingin berhasil dengan baik, haruslah menenuhi
prinsip-prinsip manajerial yag terarah dan terpadu, dan inilah mungkin salah
satu maksud hadist Nabi: Sesungguhnya Allah sangat mencintai jika salah
seorang diantara kamu beramal, amalya itu dituntaskan.” (HR Thabrani). Karena
itu, sudah tidak pada tempatnya lagi kalau kita tetap mempertahankan kegiatan dakwah yang
asal-asalan.
Kelima,
secara konseptual Allah SWT akan menjamin kemenangan hak para
pendakwah, karena yang hak jelas akan mengalahkan yang bathil (al-isra’:
81). Akan tetapi, sering dilupakan bahwa untuk berlakunya sunnatullah yang
lain, yaitu kesungguhan (Ar-Ra’d: 11). Hal ini berkaitan erat dengan cara
bagaimana dakwah tersebut dilakukan, yaitu dengan al-Hikmah, mau’idzatil
Hasanah, dan mujadalah billati hiya ahsan (an-Nahl: 125).
Berbicara
tentang dakwah adalah berbicara tentang komunikasi, karena komunikasi adalah
kegiatan informatif, yakni agar orang lain mengerti, mengetahui dan kegiatan
persuasif, yaitu agar orang lain bersedia menerima suatu faham atau keyakinan,
melakukan suatu perbuatan atau kegiatan dan lain-lain. Keduanya (dakwah dan
komunikasi) merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan.
Dakwah
adalah komunikasi, akan tetapi komunikasi belum tentu dakwah, adapun yang
membedakannya adalah terletak pada isi dan orientasi pada kegiatan dakwah dan
kegiatan komunikasi. Pada komunikasi, isi pesannya umum bisa juga berupa ajaran
agama, sementara orientasi pesannya adalah pada pencapaian tujuan dari
komunikasi itu sendiri, yaitu munculnya efek dan hasil berupa perubahan pada
sasaran. Sedangkan pada dakwah isi pesannya jelas berupa ajaran Islam dan
orientasinya adalah penggunaan metode yang benar menurut ukuran Islam. Dakwah
merupakan komunikasi ajran-ajaran Islam dari seorang da’i kepada umat manusia
dikarenakan didalamnya terjadi proses komunikasi.
Al-Qur’an
sebagai sumber dakwah itu sendiri secara khusus memberikan etika religius bagi
praktek komunikasi, seperti lewat perintah agar selektif atas setiap yang
diterima (tabayyun), melakukan check dan recheck, mengucapkan kata-kata
yang dimulai dengan ucapan yang baik, perkataan yang mudah dipahami, ucapan
yang berkesan dan sebagainya. [11]
Untuk
mengetahui bagaimana orang-orang seharusnya berkomunikasi, harus dilacak kata
kunci yang dipergunakan Al-Qu’an. Selain tabayyun, al-bayan¸kata
kunci untuk komunikasi yang banyak disebut dalam Al-Qur’an adalah Al-Qawl.
Kata al-Qawl itu sendiri terdapat lebih dari delapan kali dengan rangkaian kata
yang berbeda, diantaranya: Qawlan maysuran (QS. Al-Isra/17: 28)
yang berarti ucapan yang pantas dan mudah dipahami. Qawlan Balighan (QS.
An-Nisa/4: 63) yang berarti perkataan yang membekas dan tertanam di jiwa. Qawlan
Karima (QS. Al-Isra/17: 23) yang berarti perkataan yang menarik, benar
dan bermanfaat. Qawlan Layyinan (QS. Thaha/20: 43-44) yang
berarti tutur kata yang halus dibarengi dengan budi pekerti yang lembut. Qawlan
ma’rufa (QS. An-Nisa:5) yang
berarti perkataan yang baik. Qawlan Saqilan yang berarti perkatan
yang berat (amanahnya) dan harus disampaikan kepada umat manusia. Qawlan
‘Adziman (QS. Al-Isra/17: 40) berarti kata yang besar dosanya karena
megada-ada kedustaan terhadap Allah SWT. [12]
Oleh
karena itu Dakwah dan Komunikasi merupakan dua hal yang terkait satu sama lain.
Dakwah merupakan bentuk komunikasi dan proses komunikasi diikat oleh etika-etika
religius yang diatur dalam sumber dakwah.
B.
Pengertian Pemberdayaan Masyarakat Islam
Pemberdayaan
berrasal dari bahasa Inggris “empowerment” yang secara harfiah bisa
diartikan sebagai “pemberkuasaan”, dalam arti pemberian atau peningkatan
“kekuasaan” (power) kepada masyarakat yang tidak beruntung.
Sekilas,
makna pemberdayaan memiliki makna luas dari beberapa sudut pandang. Agar dapat
memahami secara mendalam tentang pengertian pemberdayaan maka perlu mengkaji
beberapa pendapat para ilmuwan yang memiliki komitmen terhadap pemberdayaan
masyarakat.
Robinson
menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses pribadi dan sosial; suatu
pembebasan kemampuan pribadi, kompetensi, kreatifitas dan kebebasan bertindak.[13] Sedangkan
Ife mengemukakan bahwa pemberdayaan mengacu pada kata “empowerment”,
yang memberi daya, memberi “power” (kuasa), kekuatan, kepada pihak yang
kurang berdaya.[14]
Payne
menjelaskan bahwa pemberdayaan pada hakekatnya bertujuan untuk membantu klien
mendapatkan daya, kekuatan dan kemampuan
untuk mengambil keputusan dan tindakan yang akan dilakukan dan berhubungan
dengan diri klien tersebut, termasuk mengurangi kendala pribadi dan sosial
dalam melakukan tindakan.[15]
Orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya,
bahkan merupakan “keharusan” untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka
sendiri dan akumulasi pengetahuan, keterampilan serta sumber lainnya dalam
rangka mencapai tujuan tanpa tergantung pada pertolongan dari hubungan
eksternal.
Empowerment atau pemberdayaan secara singkat dapat diartikan sebagai upaya
untuk memberikan kesempatan dan kemampuan kepada kelompok masyarakat untuk
berrpartisipasi, bernegosiasi, mempengaruhi, dan mengendalikan kelembagaan
masyarakat secara bertanggung jawab demi perbaikan kehidupannya. Pemberdayaan
juga diartikan sebagai upaya untuk memberikan daya (empowermet) atau
kekuatan (strenght) kepada masyarakat.
Secara
etimologis pengembangan berarti membina dan meningkatan kualitas dan masyarakat
Islam berarti kumpulan manusia yang beragama Islam yang memilih hubungan dan
keterkaitan ideologis satu dengan hal lainnya. Manusia memiliki fitrah dan
keagamaan, sehingga manusia membutuhkan agama. Kelahiran Islam, yang ditandai
dengan lahirnya Nabi Muhammad SAW pada tahun gajah tanggal 12 Rabiul Awal, atau
tahun 570 M, adalah sebuah momen penting dalam sejarah Islam. Karena dari
sinilah dimulai perjalanan panjang pengembangan masyarakat Islam yang menyatu
dalam dakwah syi’ar Islam di Jazirah Arab.
Pengembangan
Masyarakat (community Development) merupakan wawasan dasar bersistem
tentang asumsi perubahan sosial terancang yang tepat dalam kurun waktu
tertentu. Sedangkan teori dasar pengembangan masyarakat yang menonjol pada saat
ini adalah teori ekologi dan teori Sumber daya manusia. Teori ekologi
mengemukakan tentang “batas pertumbuhan”. Untuk sumber-sumber yang tidak dapat
diperbaharui perlu dikendalikan pertumbuhannya. Teori ekologi menyarankan
kebijaksanaan pertumbuhan darahkan sedemikian rupa sehingga dapat membekukan
proses pertumbuhan (zero growth) untuk produksi dan penduduk. Berikut
ini beberapa prinsip-prinsip ekologis sebagai landasan pengembangan masyarakat:
1.
Holisme/
menyeluruh
Prinsip
holisme merupakan suatu ide bahwa segala sesuatu berhubungan dengan sesuatu
keseluruhannya harus dianalis secara menyeluruh. Dari isu, problem, proses
hingga solusi permasalahan
2.
Sustainabilitas/
berkelanjutan
Ciri
pentinh dari sustainabilitas adalah pembatasan pertumbuhan
3.
Keanekaragaman
Prinsip
menghargai keanekaragaman dapat mengatasi ancaman ekoogis pada budaya tunggal,
tendensi kaum modernis, pengikisan identitas, globalisasi budaya dan wacana
menghapuskan rasisme, seksisme, ageism (diskiriminasi atas umur) dan lain
sebagainya.
4.
Perkembangan
organik
Perkembangan
organik berarti bahwa siapapun menghormati dan menghargai sifat-sifat khusus
suatu masyarakat dan memungkinkan serta mendorongnya untuk berkembang sesuai
dengan cara yang unik.
5.
Perkembangan
yang seimbang
Pengembangan
islam secara terpadu dan seimbang dalam bidang sosial, ekonomi, politik,
budaya, lingkungan dan pengembangan personal/spiritual.[16]
Sering
dikatakan bahwa pengembangan masyarakat Islam adalah wujud dari dakwah bil-hal.
Tokoh Amrullah Ahmad, Nanih Machendrawati, dan Agus Ahmad mendefenisikan bahwa
pengembangan masyarakat Islam adalah suatu sistem tindakan nyata yang
menawarakan alternatif model pemecahan masalah ummah dalam bidang sosial,
ekonomi dan lingkungan dalam perspektif Islam. Mentransformasikan dan
melembagakan semua segi ajaran Islam dalam kehidupan keluarga (usrah),
kelompok sosial (jamaah), dan masyarakat (ummah). Model empiris
pengembangan perilaku individual dan kolektif dalam dimensi amal sholeh (karya
terbaik), dengan titik tekan pada pemecahan masalah yang dihadapai oleh
masyarakat.
Tim Islamic
Community Development Model dari Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN pernah
juga merumuskan ddefenisi untuk model pengembangan masyaarakat Islam, terdiri
dari unsur-unsur:
1.
Mengutamakan
perilaku pengembangan atau pemberdayaan masyarakat yang beragama Islam atau
organisasi yang berdasarkan Islam.
2.
Mengutamakan
pemberdayaan umat Islam yang tertinggal dalam segala hal.
3.
Mengutamakan
pengguunaan dana yang bersumber dari dana filantropi Islam sepeti Zakat Mall,
Zakat Fitrah, Infak atau Shodaqoh.
4.
Pendekatan
pemberdayaan menggunakan pendekatan ke-Islaman.
5.
Filantropi
Islam jika dijadikan sebagai bantuan modal sebaiknya menggunakan sistem bagi
hasil.
6.
Pendamping
atau agen perubahan diutamakan yang bergama Islam dan
7.
Melibatkan
institusi mitra lokal yang berasaskan Islam.
Pranarka dan Vidhyandika menjelaskan
bahwa proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses
pemberdayaan yang menekankan pada proses memeberikan atau mengalihkan seebagai
kekuatan, kekuasaan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya.
Kedua, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses menstimulasi, mendorong
atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk
menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog.
Para ilmuwan sosial dalam memberikan
pengertian pemberdayaan mempunyai rumusan yang berbeda-beda dalam berbagai
konteks dan bidang kajian, hal tersebut dikarenakan belum ada defenisi yang
tegas mengenai konsep pemberdayaan. Oleh karena itu, agar dapat memahami secara
mendalam tentang pengertian pemberdayaan maka perlu mengkaji beberapa pendapat
para ilmuwan yang memiliki komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat.
Pertama akan kita pahami pengertian tentang pemberdayaan. Menurut
Sulistiyani secara etimologis pemberdayaan berasal dari kata “daya” yang berarti
kekuatan atau kemampuan.[17] Bertolak
dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu
prosees menuju berdaya atau pross pemberian daya (kekuatan/kemampuan) kepada
pihak yang belum berdaya. Kedua
pengetian tentang masyarakat, menurut Soetomo masyarakat adalah sekumpulan
orang yang saling berinteraksi secara kontinu, sehingga terdapat relasi sosial
yang terpola, terorganisasi.[18]
Menurut Sunyoto Usma, pemberdayaan
masyarakat adalah sebuah proses dalam bingkai usaha memperkuat apa yang lazim
disebut community self-reliance atau kemandirian Dalam proses ini masyarakat
didampingi untuk membuat analisis masalah yang dihadapi, dibantu untuk
menemukan alternatif masalah tersebut, serta diperlihatkan strategi
memanfaatkan berbagai resources yang dimiliki dan dikuasai. Dalam proses
itu masyarakat dibantu bagaimana merancang sebuah kegiatan sesuai dengan kemampuan
yang dimiliki, bagaimana mengimplementasikan rancangan tersebut, serta
bagaimana membangun strategi memperoleh sumber-sumber eksternal yang dibutuhkan
sehingga memperoleh hasil yang optimal.[19]
Sedangkan menurut Abdurrahman Wahid,
pengembangan masyarakat Islam adalah usaha untuk membina dan mengembangkan
masyarakat Islam dalam aspek sosial engencering dan kesejahteraan sosial
melalui pengkajian, penelitian dan rekayasa sosial untuk mewujudkan sumberdaya
manusia yang berrmutu dan berkualitas. Pengembangan diri dan masyarakat menjadi
agen perubahan sosial dan kesejahteraan dalam sosial pembangunan masyarakat Islam.
Secara konseptual, pemberdayaan
masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan
masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari
kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan dan memampukan
masyarakat.[20]
Salah satu faktor yang sangat
berpengaruh dalam melakukan usaha pemberdayaan dan pembangunan masyarakat
adalah mutu dan jumlah SDM yang menjalankan pembangunan. Namun demikian, jumlah
penduduk saja tidak menjamin keberhasilan pembangunan, bahkan sebaliknya dapat
mengancam pembangunan itu sendiri.[21]
Pembangunan SDM sebagai bentuk pengembangan masyarakat hraus tetap dilakukan
dengan cara memanfaaatkan SDM yang tersedia secara optimal, yaitu dengan cara
mengubah komposisi SDM dari yang berpendidikan rendah dan tidak berpendidikan
ke arah SDM yang memiliki keterampilan tinggi. [22]
Sebelum ditarik kesimpulan tentang
pemberdayan masyarakat, terlebih dahulu kita pahami makna pemberdayaan masyarakat
menurut para ahli lainnya. Menurut Moh. Ali Aziz, dkk “Pemberdayaan Masyarakat
merupakan suatu proses dimana masyarakat, khususnya mereka yang kurang memiliki
akses ke sumberdaya pembangunan didorong untuk meningkatkan kemandiriannya di
dalam mengembangkan perikehidupan mereka. Pemberdayaan masyarakat juga
merupakan proses siklus terus menerus, proses partisispatif dimana anggota masyarakat
bekerjasama dalam kelompok formal maupun informal untuk berbagai pengetahuan
dan pengalaman serta berusaha mencapai tujuan bersama. Jadi, pemberdayaan
masyarakat lebih merupakan suatu proses.[23]
Selanjutnya pemaknakaan pemberdayaan
masyarakat menurut Madekhan Ali yang mendefenisikan pemberdayaan masyarakat
sebagai berikut ini:
“Pemberdayaan masyarakat sebagai
sebuah bentuk partisipasi untuk membebaskan diri mereka sendiri dari ketergantungan
mental maupun fisik. Partisipasi masyarakat menjadi satu elemen pokok dalam
strategi pemberdayaan dan pembangunan masyarakat, dengan alasan; pertama, partisipasi
mayarakat merupakan satu perangkat ampuh untuk memobilisasi sumberdaya lokal,
mengorganisir serta membuka tenaga, kearifan dan kreativitas masyarakat. Kedua,
partisipasi masyarakat juga membantu upaya identifikasi dini terhadap
kebutuhan masyarakat”.[24]
Sehingga kelebihan itu perlu dibina
agar dapat mengembangkan potensi pribadi untuk dapat membangun. Adapun menurut
Amarullah Ahmad, pengembangan masyarakat Islam adalah sistem tindakan nyata
yang menawarkan alternatif modern pemecahan masalah ummah dalam bidang sosial,
ekonomi dan lingkungan dalam perspektif Islam, dengan demikian penggabungan perilaku
individu dan kolektif dalam dimensi amal sholeh.
Masyarakat Islam berarti kumpulan
manusia yang beagama Islam, yang meneliti hubungan dan keterkaitan ideologis
yang satu dengan yang lainnya. Syari’ati menggunakan term ummah untuk
mensubtitusi terminologi masyarakat Islam. Bagi Syari’ati, ummah tidak
lain adalah masyarakat yang berhijrah, yang satu sama lain saling membantu agar
bisa bergerak menuju tujuan yang mereka cita-citakan. Dalam pengertian yang
lebih generik, ummah dipandang sebagai persaudaraan Islam, seluruh masyarakat
Muslim. Yang mempertalikan kaum Muslim menjadi satu kesatuan adalah kesamaan
pandangan dunia (din), yang didasarkan pada sebuah gagasan universal (tauhid) dan sejumlah tujuan bersama: mencari keadilan
(‘adl), dan ilmu (ilm) dalam upaya memenuhi kewajiban sebagai
pengemban amanah (khilafah) Tuhan.[25] Dalam
pemikiran sosiologis, Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa manusia itu secara
individu diberikan kelebihan namun secara kodrati manusia memiliki kekurangan.
Mengacu pada pengertian dan teori
para ahli, pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya memebangkitkan kesadaran
akan potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya sehingga
masyarakat dapat mencapai kemandirian. Kemudian dapat disimpulkan bahwa
pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan daya atau kekuatan pada
masyarakat dengan cara memberi dorongan, peluang, kesempatan dan perlindungan
dengan tindakan mengatur dan mengendalikan kegiatan masyarakat yang
diberdayakan untuk mengembangkan potensinya sehingga masyarakat tersebut dapat
meningkatkan kemampuan dan mengaktualisasikan diri dan berpartisispasi melalui
bebagai aktivitas.
C.
Arah Dakwah dan Pemberdayaan Masyarakat Islam
Membangun
(mengembangkan) suatu masyarakat agar menjadi maju, mandiri dan berbudi bukanlah
sesuatu yang mudah, seperti membalikkan telapak tangan. Upaya tersebut tidak
hanya membutuhkan tekad dan keyakinan, tetapi juga kerja keras dan tak kenal
lelah. Berbagai teori pembangunan bermunculan, dan dianut oleh berbagai bangsa
dan negara seperti teori pertumbuhan yang dikembangkan oleh Rostow dan Harrod
Domar, dan konsep ini pula tampaknya telah diadopsi pemerintah Indonesia pada
masa orde baru dengan istilah masyarakat tinggal landas. Walaupun pada akhirnya
keadaan ekonomi bangsa Indonesia terpuruk ke titik nadir karena tidak
mempertimbangkan pembangunan dari aspek mental bangsa.
Masalah
lain yang kemudian muncul adalah bagaimana arah pengembangan atau pembangunan
masyarakat Islam? Untuk menjawab pertanyaan sederhana ini layak kiranya kita
telaah terlebih dahulu makna masyarakat Islam. Yusuf Qardhawi mengemukakan
bahwa masyarakat Islam adalah masyarakat yang komitmen memegang teguh aqidah Islamiyah
“Laa ilaaha illallah Muhammadan Rasullullah” (menolak keyakinan lain) tertanam
dan berkembang dalam hati dan sanubari, akal dan perilaku diri pribadi
menularkan kepada sesama dan generasi penerus.
Sedangkan
yang akan dituju dalam pengembangan masyarakat Islam adalah masyarakat Islam
ideal, seperti gambaran masyarakat yang dibangun oleh Rasulullah bersama umat Islam
pada awal kehadirannya di Madinah, kota yang dahulu bernama Yatsrib dirubah
dengan nama baru “Madinah al-nabi” dari asal kata madaniyah atau tamaddun
(civilitation) yang berarti peradaban, maka masyarakat Madinah atau
Madani (civil Society) adalah masyarakat yang beradab yang dilawankan
dengan masyarakat Badwy, yang berarti masyarakat yang pola kehidupannya
berpindah (Nomaden) dan belum mengenal norma aturan.[26]
Melihat
gambaran masyarakat Islam ideal dari kondisi jahiliyah menjadi masyarakat yang
beradab, berwawasan bernorma, maka arah pengembangan masyarakat Islam bukan
sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi seperti Rostow dan Harrod Domar, tetapi
harus diimbangi dengan landasan moral spiritual sebagai alat kontrol.
Rasulullah
SAW dalam membangun masyarakat Madani di Yatsrib pada saat itu diawali dengan
pembentukan nilai-nilai spiritual Islam di tengah-tengah masyarakat Yatsrib.
Langkah pertama yang dilakukan Rasulullah adalah membangun masjid. Masjid bukan
hanya berfungsi sebagai tempat sholat saja, melainkan sebagai tempat
pendidikan, sebagai balai pertemuan, dan juga mengatur segala urusan sekaligus
sebagai gedung parlemen untuk bermusyawarah dan menjalankan roda pemerintahan.[27]
Ketika
pemerintahan Madinah terbentuk, beliau mencanangkan beberapa program
pembangunan masyarakat selain membangun masjid, yaitu menjalin persatuan sesama
muslim. Hubungan sesama warga negara saat itu diikat dengan rasa cinta, saling
membantu, dan semangat persaudaraan. Dalam tingkat aplikasinya, kebijakan ini
dilaksanakan dengan mempersaudarakan antara orang-orang muhajirin dan anshar.
Rasulullah juga membuat perjanjian antarkabilah untuk menyingkirkan segala
dendam lama yang pernah terjadi diantara mereka. Kemudian Rasulullah menata
pola perhubungan dengan kaum nonmuslim dalam bentuk perjanjian. Segala bentuk
aturan dan perjanjian ini tercantum dalam sebuah bangunan sistem
perundang-undangan yang disebut dengan Piagam Madinah. Dua tahun pertama
dijalani Rasulullah SAW. Dengan penataan internal, kemudian turun perintah Allah
tentang berjihad. [28]
Berangkat
dari sejarah dakwah dan pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad SAW, dakwah pembangunan dan pengembangan masyarakat arahnya adalah untuk
mencapai kondisi mental (iman, ihsan, taqwa dan sejenisnya) yang stabil dengan
kondisi kehidupan yang lain baik dalam kehidupan individu maupun sosial. Dan
paradigma yang digunakan Comte, Durkheim maupun Weber, tetapi paradigma
spiritual yang bersumber dari Al-Qur’an (tentunya harus dijabarkan lebih
lanjut) yakni “Litukhrijan naasa minadzulumaati ilan nuri”, dalam bahasa dakwah
dipahami dengan apa yang disebut an-nahyu ‘ani al-munkar dan lain-lain
yang tidak termasuk kategori munkar tetapi memerlukan perbaikan dan peningkatan
seperti: kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, ketertindasan dan sejenisnya.
Pendek
kata semua bentuk dan jenis masalah yang dihadapi dalam kehidupan masyarakat.
Sedang ‘ilan an nur, dalam pengertian dakwah dapat dipahami dalam konsep
al amru bil ma’ruf. Mengajak manusia kepada iman, taqwa, ihsan, akhlakul
karimah, kemajuan, keadilan, pemerataan dan lain-lain. Dalam hal ini bagaimana
bagi mereka yang sudah dalam kategori atau kondisi an nur atau al-ma’ruf?
Apakah mereka tidak perlu lagi pengembangan?
Pertanyaan
ini dapat dijawab dengan dasar asumsi, bahwa seseorang atau kelompok ataupun
masyarakat tentu menggali persoalan, hanya saja berat ringannya persolan
berbeda. Maka jawaban dari pertanyaan tersebut adah semua orang atau masyarakat
memerlukan usaha pengembangan, hanya saja dalam pengembangan masyarakat harus
dilihat skala prioritas, mana yang penting dan mana yang kurang penting. Bagi
masyarakat yang dalam kondisi sudah baik kondisi sosial, ekonomi dan budayanya
maka pengembangan lebih bermakna peningkatan dan memelihara kondisi baik
tersebut agar tidak terkena virus munkar.
D.
Tujuan Dakwah Dan Pemberdayaan Masyaarakat Islam
Berangkat
dari sebuah asumsi dasar bahwa setiap orang dalam kelompok masyarakat mesti
mengalami perubahan baik lambat maupun cepat, dalam merancang perubahan
tersebut dalam masyarakat muncul persoalan hidup dan kehidupan, baik yang berkaitan
dengan persoalan material maupun nonmaterial baik individu maupun kelompok.
Setiap manusia anggota masyarakatselalu berusaha untuk mengatasi masalah
tersebut, ada yang mampu mengatasinya sendiri dengan memanfaatkan segala daya
kemampuannya dan adapula yang membutuhkan bantuan orang lain. Artinya ada yang
mampu mengaktualisasikan kemampuan yang dimiliki dalam mengatasi masalahnya,
adapula yang membutuhkan bantuan orang lain atau kelompok lain. Disinlah fungsi
dakwah sebagai penyebar an-nur dan rahmat (fungsi pengembang) bagi seluruh umat
manusia bahkan alam semesta.
Dakwah
yang dilaksanakan dalam rangka mengembangkan masyarakat, sesuai dengan namanya
maka, hendaknya dilaksanakan dengan gerakan jama’ah dan dakwah jama’ah,
artinya: jama’ah menunjukkan suatu kelompok masyarakat yang lebih luas dari
keluarga yang hidup bersama untuk secara bersama-sama mengidentifikasi
persoalan dan masalah hidup, mengenai kebutuhannya baik dalam urusan ubudiyah,
uluhiyah maupun bidang kehidupan lainnya seperti: sosial, ekonomi, politik dan
lain-lain. Karena itu kata jama’ah tidak ada kaitannya dengan jama’ah Islamiyah
yang pernah berkembang di Indonesia.[29]
Pelaksanaan
dakwah jama’ah merupakan program kegiatan dakwah yang menempatkan seseorang
atau kelompok orang yang merrupakan inti utama gerakan jama’ah (pengembang
masyarakat) atau da’i. Sedangkan jama’ah adalah kelompok masyarakat yang berada
dalam lingkup geografis yang sama dengan inti jama’ah dan bersama-sama mengembangkan
potensi yang dimiliki jama’ah dalam rangka mengatasi persoalan hidup yang
dimiliki jama’ah, jika perlu maka dapat diangkat pamong jama’ah yang berfungsi
sebagai koordinator (sesepuh jama’ah atau masyarakat) dalam mendiskusikan
segala permasalahan yang mereka hadapi.
Koordinator
dalam kajian pemberdayaan, disebut dengan fasilitator/ penyuluh. Istilah
fasilitator itu sendiri adalah pekerja atau pelaksanaan pemberdayaan
masyarakat. Berdasarkan status dan lembaga tempatnya bekerja, fasilitator dibedakan
dalam (UU No. 16 Tahun 2006):
1.
Pegawai
Negeri Sipil (PNS), Yaitu pegawai negeri yang ditetapkan dengan status jabatan
fungsional sebagai penyuluh/fasilitator.
2.
Penyuluh/
fasilitator swasta, yaitu fasilitator pemberdayaan masyarakat yang berstatus
sebagai karyawan perusahan swasta (produsen pupuk, pestisida dll) termasuk
kategori penyuluh swasta yaitu penyuluh dari lembaga swadaya masyarakat (LSM)
3.
Penyuluh/fasilitator,
pemberdaya masyarakat yang berasal dari masyarakat secara sukarela melakukan
pemberdayaan masyarakat di lingkungannya.[30]
Inti
jama’ah sebagai pengembang masyarakat dituntut memiliki kemampuan lebih (dalam
bidang tertentu) dibandingkan jama’ah, tetapi dalam bidang tertentu lainnya
jama’ah sebenarnya lebih mengetahui dan menguasai. Setidaknya inti jama’ah
(pengembang atau da’i) memiliki kemampuan dan keahlian. Pertama, menganalisis
problem sosial keagamaan masyarakat. Kedua, merancang kegiatan pengembangan
masyarakat berdasarkan hasil analisis problem. Ketiga, mengelola dan
melaksanakan kegiatan pengembangan berdasarkan rencana yang telah disepakati.
Keempat, mengevaluasi kegiatan pengembangan masyarakat dan kelima, melatih
jama’ah atau masyarakat dalam menganalisis problem yang dihadapi jama’ah atau
masyarakat, merancang, mengelola dan melaksanakan kegiatan pengembangan serta
mengevaluasi kegiatan pengembangan.
Berdasarkan
uraian tersebut dpaat dirumuskan beberapa tujuan pengembangan masyarakat Islam
yaitu memiliki akidah yang kuat, akhlak mulia dan istiqamah serta memilki
keahlian (skill) yang memadai. Secara sistematis arah tujuan pengembangan
masyarkaat Islam tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Menganalisis
problem sosial secara umum dan keagamaan secara khusus yang muncul dalam
kehidupan masyarakat sebagai akibat adanya perubahan sosial.
2.
Merancang
kegiatan pengembangan masyarakat berdasarkan problem yang ada, berdasarkan
skala prioritas.
3.
Mengelola
dan melaksanakan kegiatan pengembangan masyarakat berdasarkan rencana yang
disepakati (kemampuan menjadi pendamping).
4.
Mengevaluasi
seluruh proses pengembangan masyarakat (evaluasi pendampingan)
5.
Melatih
masyarakat dalam menganalisis problem yang mereka hadapi, merancang, mengelola
dan mengevakuasi kegiatan pengembangan masyarakat (pelatihan-pelatihan
pendampingan)
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
1.
Dakwah
adalah suatu usaha yang dilakukan dengan sadar dan terencana untuk memperbaiki situasi yang lebih baik
dengan mengajak manusia untuk selalu ke jalan Allah AWT sehingga tercapai
tujuan bahagia dan sejahtera, baik di dunia maupun di akhirat.
2.
Pemberdayaan
masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan daya atau kekuatan pada masyarakat
dengan cara memberi dorongan, peluang, kesempatan dan perlindungan dengan
tindakan mengatur dan mengendalikan kegiatan masyarakat yang diberdayakan untuk
mengembangkan potensinya sehingga masyarakat tersebut dapat meningkatkan
kemampuan dan mengaktualisasikan diri dan berpartisispasi melalui bebagai
aktivitas.
3.
Dakwah
pembangunan dan pengembangan masyarakat arahnya adalah untuk mencapai kondisi
mental (iman, ihsan, taqwa dan sejenisnya) yang stabil dengan kondisi kehidupan
yang lain baik dalam kehidupan individu maupun sosial.
4.
Tujuan
pengembangan masyarakat Islam yaitu memiliki akidah yang kuat, akhlak mulia dan
istiqamah serta memilki keahlian (skill) yang memadai.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu Bakar Atjeh, Beberapa Catatan Mengenai Dakwah Islam,
Semarang: Ramadani, 1979
Abu Huraerah, Pengorganisasian
dan Pengembangan Masyarakat, Bandung: Humaniora, 2008
Amin Rais, Cakrawala
Islam, Bandung: Mizan, 1991Thomas W. Arnold, Sejarah Dakwah Islam
(terjemahan dari The Preaching of Islam), Jakarta: Wijaya, 1983
Amrullah Ahmad, ed. Dakwah dan Perubahan Sosial, Yogyakarta:
Prima Duta, 1983
A. Hasymy, Dustur
Dakwah menurut al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1997Totok Mardikanto dan
Poerwoko Soebianto, Pemberdayaan Masyarakat Dalam Perspektif kebijakan
Publik, Bandung: Alfabeta, 2013
Farid Ma’ruf Noor, Dinamika dan Akhlak Dakwah, Surabaya:
Bina Ilmu, 1981
Ife, J.W., Community
Development: Creating Community Alternatives, Vision, Analysis and
Practice: Longman, Australia, 1995
Jim Ife dan Frank Tesoriero. Community
Development: Community-Based Alternatives in an Age of Globalisation. Terj.
Sastrawan Manullang dkk,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006
Madekhan Ali, Orang Desa anak Tiri Perubahan, Malang:
Averroes Press, 2007
Moh Ali Aziz
dan Rr. Suhartini, dkk. Dakwah
Pemberdayaan Masyarakat Paradigma Aksi Metodologi, Yogyakarta: Pustaka
Pesantren, 2005
Mohd. Rafiq, Ilmu
Komunikasi, Diktat, Institut Agama Islam Negeri Padangsidimpuan,
Padangsidimpuan, 2014Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, Jakarta: Amzah,
2013
Munir Mulkhan, Ideologi Gerakan Dakwah, Yogyakarta: Sipress,
1996
Murdi Yatmo
Hutomo, Pemberdayaan Masyarakat Dalam Bidang Ekonomi Tinjauan Teoritik dan
Implementasi ,Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta, 2001
Nanich Machendrawati dan Agus Ahmad
Syafei, Pengembangan Masyarakat Islam dari Ideologi, Strategi sampai Tradisi,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001
Nur Kholis Majid, Islam Doktrin dan Peradaban, Dian Rakyat
& paramadina, 1992
Payne, M., Social Work and Community Care, London: McMillan,
1997
Robinson, J.R., Community Development in Perspective, Ames:
Lowa State University Press, 1994
Soetomo, Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011
Sulistyani, Ambar
T& Rosidah, Manajemen Sumberdaya Manusia : Konsep, Teori dan Pembangunan
dalam Konteks Organisasi Publik. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2003
Syafiyurrahman
Al-Mubarakfuri. Ar-Rahiq Al-Makhtum Bahtsun fis Siratin Nabawiyyati ‘ala
Shahibiha Afdhalush Shalati was Sallam, terj. Agus Suwandi, Jakarta: Ummul
Qura, 2011
Toha Yahya
Oemar, Ilmu Dakwah, Jakarta: Wijaya, 1976
Wahyu Ilahi dan
Harjani Hefni, Pengantar Sejarah Dakwah, Jakarta: Prenamedia Group, 2007
[1] Thomas W.
Arnold, Sejarah Dakwah Islam (terjemahan dari The Preaching of Islam),
(Jakarta: Wijaya, 1983), hal. 1
[2] Totok
Mardikanto dan Poerwoko Soebianto, Pemberdayaan Masyarakat Dalam Perspektif
kebijakan Publik, (Bandung: Alfabeta, 2013), hal. 63-64
[3] Samsul Munir
Amin, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Amzah, 2013), hal. viii
[4] Ibid, hal.
ix
[5] A. Hasymy, Dustur
Dakwah menurut al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hal. 18
[6] Amrullah
Ahmad, ed. Dakwah dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Prima Duta, 1983),
hal. 2
[7] Amin Rais, Cakrawala
Islam, (Bandung: Mizan, 1991), hal. 26.
[8] Farid Ma’ruf
Noor, Dinamika dan Akhlak Dakwah, (Surabaya: Bina Ilmu, 1981), hal. 29
[9] Abu Bakar
Atjeh, Beberapa Catatan Mengenai Dakwah Islam, (Semarang: Ramadani,
1979), hal. 6.
[10] Toha Yahya
Oemar, Ilmu Dakwah (Jakarta: Wijaya, 1976), hal. 1
[11]
Mohd. Rafiq, Ilmu Komunikasi, (Diktat, Institut Agama Islam Negeri
Padangsidimpuan, Padangsidimpuan, 2014), hal. 61
[12]
Ibid, hal. 61-66
[13] Robinson,
J.R., Community Development in Perspective, (Ames: Lowa State University
Press, 1994), hal. 125
[14] Ife, J.W., Community
Development: Creating Community Alternatives, (Vision, Analysis and
Practice: Longman, Australia, 1995), hal. 182
[15] Payne, M., Social
Work and Community Care, (London: McMillan, 1997).
[16]
Jim Ife dan Frank Tesoriero. Community Development: Community-Based Alternatives
in an Age of Globalisation. Terj. Sastrawan Manullang dkk, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006) hal. 495-502
[17] Sulistyani,
Ambar T& Rosidah, Manajemen Sumberdaya Manusia : Konsep, Teori dan
Pembangunan dalam Konteks Organisasi Publik. (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2003)
hal. 77
[18] Soetomo, Pemberdayaan
Masyarakat. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal. 25
[19] Abu Huraerah, Pengorganisasian
dan Pengembangan Masyarakat, (Bandung: Humaniora, 2008), hal 87
[20] Murdi Yatmo
Hutomo, Pemberdayaan Masyarakat Dalam Bidang Ekonomi Tinjauan Teoritik dan
Implementasi (Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta, 2001), hal. 10
[21] Moh Ali Aziz
dan Rr. Suhartini, dkk. Dakwah
Pemberdayaan Masyarakat Paradigma Aksi Metodologi, (Yogyakarta: Pustaka
Pesantren, 2005), hal. 103
[22] Ibid, hal.
118
[23] Ibid, hal.
136
[24] Madekhan Ali, Orang
Desa anak Tiri Perubahan, (Malang: Averroes Press, 2007), hal. 86
[25]
Nanich Machendrawati dan Agus Ahmad Syafei, Pengembangan Masyarakat Islam
dari Ideologi, Strategi sampai Tradisi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001),
hal. 6
[26] Nur Kholis
Majid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Dian Rakyat & paramadina,
1992), hal 312-315.
[27]
Syafiyurrahman Al-Mubarakfuri. Ar-Rahiq Al-Makhtum Bahtsun fis Siratin
Nabawiyyati ‘ala Shahibiha Afdhalush Shalati was Sallam, terj. Agus Suwandi,
(Jakarta: Ummul Qura, 2011), hal. 348-349
[28]
Wahyu Ilahi dan Harjani Hefni, Pengantar Sejarah Dakwah, (Jakarta:
Prenamedia Group, 2007), hal. 56-60
[29] Munir Mulkhan,
Ideologi Gerakan Dakwah, (Yogyakarta: Sipress, 1996), hal. 214
[30]
Totok
Mardikanto dan Poerwoko Soebianto, Op.Cit., hal. 139-140.
Apa yang dimaksud dengan dakwah yg dianggap sbg pesan dari luar ??
ReplyDeleteBagaimana indikator bijaksana dalam konteks dakwah yang terdapat pada paragraf ke 8 yang dikemukakan oleh Toha Yahya Umar? dan bagaimana sebenarnya masyarakat yang dicitakan oleh islam?
ReplyDeleteApa hakikat dari arah dan tujuan PMI ???
ReplyDelete