Tuesday, September 19, 2017

PENGERTIAN, ARAH DAN TUJUAN DAKWAH DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT ISLAM





PENGERTIAN, ARAH DAN TUJUAN DAKWAH DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT ISLAM


MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH DESAIN DAN SKENARIO PMI





OLEH :

MAYA INDAH LESTARI
                  NIM. 14 303 00011                    

DOSEN PEMBIMBING :
Zilfaroni, S.Sos. I M.A

JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM SEMESTER VII
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
           
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PADANGSIDIMPUAN
TAHUN AKADEMIK 2017/2018







KATA PENGANTAR
      Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, dan karunianya sehingga makalah ini berhasil diselesaikan dengan judul “Pengertian, Arah dan Tujuan Dakwah Dan Pemberdayaan Masyarakat Islam
      Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas makalh kuliah Desain Skenario PMI. Diharapkan makalah ini bermanfaat untuk kita semua dalam menambah pemahaman dan pengaplikasian kita mengenai Desain Skenario PMI.
      Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, sebab kita sebagai manusia biasa biasa yang tak luput dari kekasalahan. Pepatah mengatakan,” Tak ada gading yang tak retak” oleh karena itu, saya mengharapkan kritik maupun saran yang bersifat membangun untuk menyempurnakan makalah ini.
      Akhir kata saya ucapkan terimakasih, semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kedepannya.














DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................ i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN     
A.      Pengertian Dakwah...................................................................................................... 3
B.      Pengertian Pemberdayaan Masyarakat Islam............................................................... 6
C.      Arah Dakwah dan Pemberdayaan Masyarakat Islam.................................................. 12
D.      Tujuan Dakwah dan Pemberdayaan Masyarakat Islam............................................... 14

BAB III PENUTUP................................................................................................................ 17
Kesimpulan.............................................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................. 18







BAB I
PENDAHULUAN

Sejarah sosial umat Islam lahir, tumbuh dan berkembang tidak bisa dipisahkan dengan riwayat jatuh bangunnya proses sosial umat Islam dalam berdakwah, secara teologis dakwah dianggap (mission sacre) proyek berpahala dan kedudukan dakwah itu sendiri bersifat conditio sine quanon adanya, tidak tercegah dan inheren.
Prof. Max Muller, pada tahun 1873 ketika menyampaikan kuliah di Westminster Abbey Inggris di hadapan pertemuan misi mengemukakan bahwa enam agama besar di dunia dapat digolongkan kepada agama dakwah (Missionary Religion) dan agama nondakwah (Non Missionary Religion). Menurut Max Muller yang tergolong kedalam agama dakwah (Missionary Religion) adalah Budha, Kristen dan Islam, sedangkan yang tergolong ke dalam agama nondakwah (Non Missionary Religion) adalah Yahudi, Brahma dan Zoroaster.
Prof. Muller memberi batasan bahwa yang dimaksud dengan agama dakwah adalah “agama yang di dalamnya terdapat usaha menyebarluaskan kebenaran dan mengajak orang-orang yang belum memercayainya dianggap sebagai tugas suci oleh pendirinya atau oleh penggantinya. Semangat memperjuangkan kebenaran itulah yang tak kunjung padam dari jiwa para penganutnya sehingga kebenaran itu terwujud dalam pikiran, kata-kata dan perbuatan, semangat yang membuat mereka merasa tidak puas sampai berhasil menanamkan nilai kebenaran itu ke dalam jiwa setiap orang, sehingga apa yang diyakini sebagai kebenaran diterima oleh seluruh manusia.”[1]
Sebagaimana defenisi tersebut, tidak dapat disangkal lagi bahwa islam termasuk agama dakwah. Hal ini berlangsung sejak awal mula Islam disebarkan oleh Nabi Muhammad SAW, Islam telah dikembangkan sebagai agama dakwah.
Nabi Muhammad SAW juga mengatakan dalam pesannya “Sampaikan apa yang kamu terima dariku meski satu ayat” karenanya wajar dalam pentas sejarah pendekatan kerja dakwah terus terlahir, baik yang bersifat teknis operasional maupun yang konseptual, tentu saja tidak bisa dilepas dengan konteks sosial, realititas yang spesifik, dakwah bersifat dinamis seiring dengan perkembangan laju persoalan dan kebutuhan masyarakat.
            Masyarakat dalam kehidupan selalu mengalami perubahan-perubahan, baik perubahan yang alami maupun yang dirancang oleh masyarakat itu sendiri. Perubahan itu tidak selalu lebih baik bahkan sering terjadi sebaliknya.
Sebagai akibat dari terjadinya perubahan-perubahan tersebut, kebutuhan manusia juga semakin berubah, baik dalam ragam, jumlah dan bentuk-bentuk kebutuhannya. Dari jumlah kebutuhan telah terjadi perubahan, semula lebih mengutamakan jumlah dan kemudian bergeser kepada lebih mengutamakan mutu (bahan). Hal tersebut dapat kita lihat seperti pada pakaian, perumahan dan sebagainya. Perubahan yang terjadi tidak hanya dari segi ragam dan jumlah, tetapi juga dari segi bentuk kualitas. Untuk pangan akhir-akhir ini terjadi perubahan dalam penyajian dan mutu bahan (pangan vegetarian, fast food, junk food, pangan organik, dll). Perubahan kebutuhan pakaian juga telah mengalami perubahan rancangan (design,mode) sesuai dengan tempat waktu penggunaannya.[2] Dalam mengikuti perubahan kebutuhan yang semakin beragam, manusia dengan berbagai cara melakukan upaya-upaya untuk memenuhi tuntutan perubahan tersebut. Manusia secara sadar ataupun tidak akan mengalami krisis identitas dirinya sebagai makhluk yang mulia disisi Allah maupun bagi sesamanya dalam memenuhi keinginannya.
Yang tidak kalah mencengangkan adalah perubahan dalam bidang teknologi komunikasi. Kemajuan di bidang teknologi komunikasi tidak hanya berciri vertikal, tetapi juga berdimensi horizontal. Tidak ada lagi wilayah di dunia yang tidak terjangkau oleh komunikasi canggih (global syndrome).[3] Masih adakah negara di dunia ini yang mempunyai pilihan lain dari keharusan menerrima kehadiran komuter, televisi, videotext, teletext, telepon global, sistem komunikasi interaktif, internet dan komunikasi digital?
Alvin Toffler dalam The Third Wave (1980), meramalkan bahwa revolusi informasi memang sedang menggetarkan sendi-sendi masyarkat di seluruh dunia. Gemanya pun semkain terasa disemua negara yang sedang berkembang, termasuk negara-negara Islam.[4]
Untuk menghadapi berbagai tantangan dan perubahan terrsebut, dakwah merrupakan suatu yang sangat relevan untuk dikembangkan di era teknologi dan informasi ini. Selain itu, penyampaian dakwah juga harus mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan transformasi sosial yang berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Dakwah
Secara etimologis, kata “dakwah” berasal dari Bahasa Arab yang mempunyai arti: panggilan, ajakan dan seruan. Sedangkan dalam ilmu tata bahasa Arab, kata dakwah adalah bentuk dari isim mashdar yang berasal dari kata kerja دعا – يدع – دعوة   artinya: menyeru, memangggil dan mengajak.
Dalam pengertian yang integralistik dakwah merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang ditangani oleh para pengemban dakwah untuk mengubah sasaran dakwah agar bersedia masuk ke jalan Allah, dan secara bertahap menuju perikehidpan yang Islami. Oleh karenanya perlu memperhatikan unsur penting dalam berdakwah sehingga dakwah menghasilkan perubahan sikap bagi mad’u. Sedangkan ditinjau dari sei terminologi, banyak sekali perbedaan pendapat tentang defenisi dakwah di kalangan para ahli, antara lain:
Menurut A. Hasmy dakwah yaitu mengajak orang lain untuk meyakini dan mengamalkan akidah dan syariat Islam yang terlebih dahulu telah diyakini dan diamalkan oleh pendakwah itu sendiri.[5]
Menurut Amrullah Ahmad .ed., dakwah Islam merrupakan aktualisasi, Imani (teologis) yang dimanifestasikan dalam susatu sistem kegiatan manusia beriman dalam bidang kemasyarakatan yang dilaksansakan secara teratur untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap dan bertindak manusia pada tataran kegiatan individual dan sosio kultural dalam rangka mengesahkan terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan dengan cara tertentu.[6]
Menurut Amin Rais, dakwah adalah gerakan silmultan dalam berbagai bidang kehidupan untuk mengubah status quo  agar nilai-nilai Islam memperoleh kesempatan untuk tumbuh subur demi kebahagiaan seluruh umat manusia.[7]
Menurut Farid Ma’ruf Noor, dakwah merupakan suatu perjuangan hidup untuk menegakkan dan menjunjung tinggi undang-undang Ilahi dalam seluruh aspek kehidupan manusia dan masyarakat sehingga ajaran Islam menjadi shibghah yang mendasari, menjiwai dan mewarnai seluruh sikap dan tingkah laku dalam hidup dan kehidupannya.[8]
Menurut Abu Bakar Atjeh, dakwah adalah seruan kepada semua manusia untuk kembali dan hidup sepanjang ajaran Allah yang benar, yang dilakukan dengan penuh kebijaksanaan dan nasehat yang baik.[9]
Menurut Toha Yahya Umar, dakwah adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana ke jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan, untuk keselamatan dan kebahagiaan dunia akhirat.[10]
Dari beberapa defenisi tersebut paling tidak dapat diambil kesimpulan tentang dakwah:
1.      Dakwah itu adalah suatu usaha yang dilakukan dengan sadar dan terencana.
2.      Usaha dakwah itu adalah untuk memperbaiki situasi yang lebih baik dengan mengajak manusia untuk selalu ke jalan Allah AWT.
3.      Proses menyelenggarakan itu adalah untuk mencapai tujuan yang bahagia dan sejahtera, baik di dunia maupun di akhirat.
Dalam kaitannya dengan makna dakwah, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan secara seksama, agar dakwah dapat dilaksanakan dengan baik.
 Pertama, dakwah sering disalah artikan sebagai pesan yang datang dari luar. Pemahaman ini akan membawa konsekuensi kesalahlangkah-an dakwah, baik dalam formulasi pendekatan atau metodologis, maupun formulasi pesan dakwahnya. Karena dakwah dianggap dari luar, maka langkah pendekatan lebih diwarnai dengan pendekatan interventif, dan para dai lebih mendudukkan diri sebagai orang asing, tidak terkait dengan apa yang dirasakan dan dibutuhkan oleh masyarakat.
Kedua, dakwah sering diartikan menjadi sekadar ceramah dalam arti sempit. Kesalahan ini sebenarnya sudah sering diungkapkan, akan tetapi dalam pelaksanaannya tetap saja terjadi penciutan makna, sehingga orientasi dakwah sering pada hal-hal yang bersifat rohani saja. Istilah “dakwah pembangunan” adalah contoh yang menggambarkan seolah-olah ada dakwah yang tidak membangun atau dalam makna lain, dakwah yang pesan-pesannya penuh dengan tipuan sponsor.
Ketiga, masyarakat yang dijadikan sasaran dakwah sering dianggap masyarakat yang vakum atau steril, padahal dakwah sekarang ini berhadapan dengan satu setting masyarakatdengan beragam corak dan keadaaannya, dengan berbagai persoalannya, masyarakat yang serba nilai dan majemuk dalam tata kehidupannya, masyarakat yang berubah dengan cepatnya, yang mengarah pada masyarakat fungsional, masyarakat teknologis, masyarakat saintifik dan masyarakat terbuka.
Keempat, sudah menjadi tugas manusia untuk menyampaikan saja (al-Ghaasyiah: 21-22), sedangkan masalah akhir dari kegiatan dakwah diserahkan sepenuhnya kepada Allah SWT. Allah sajalah yang mampu memberikan hidayah dan aufik-Nya kepada manusia. Rasulullah SAW sendiripun tidak mampu memberikan hidayahnya kepada orang yang dicintainya (Al-Qashash: 56). Akan tetapi, sikap ini tidaklah berarti menafikan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi dari kegitan dakwah yang dilakukan. Dakwah, jika ingin berhasil dengan baik, haruslah menenuhi prinsip-prinsip manajerial yag terarah dan terpadu, dan inilah mungkin salah satu maksud hadist Nabi: Sesungguhnya Allah sangat mencintai jika salah seorang diantara kamu beramal, amalya itu dituntaskan.” (HR Thabrani). Karena itu, sudah tidak pada tempatnya lagi kalau kita tetap  mempertahankan kegiatan dakwah yang asal-asalan.
Kelima, secara konseptual Allah SWT akan menjamin kemenangan hak para pendakwah, karena yang hak jelas akan mengalahkan yang bathil (al-isra’: 81). Akan tetapi, sering dilupakan bahwa untuk berlakunya sunnatullah yang lain, yaitu kesungguhan (Ar-Ra’d: 11). Hal ini berkaitan erat dengan cara bagaimana dakwah tersebut dilakukan, yaitu dengan al-Hikmah, mau’idzatil Hasanah, dan mujadalah billati hiya ahsan (an-Nahl: 125).
Berbicara tentang dakwah adalah berbicara tentang komunikasi, karena komunikasi adalah kegiatan informatif, yakni agar orang lain mengerti, mengetahui dan kegiatan persuasif, yaitu agar orang lain bersedia menerima suatu faham atau keyakinan, melakukan suatu perbuatan atau kegiatan dan lain-lain. Keduanya (dakwah dan komunikasi) merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan.
Dakwah adalah komunikasi, akan tetapi komunikasi belum tentu dakwah, adapun yang membedakannya adalah terletak pada isi dan orientasi pada kegiatan dakwah dan kegiatan komunikasi. Pada komunikasi, isi pesannya umum bisa juga berupa ajaran agama, sementara orientasi pesannya adalah pada pencapaian tujuan dari komunikasi itu sendiri, yaitu munculnya efek dan hasil berupa perubahan pada sasaran. Sedangkan pada dakwah isi pesannya jelas berupa ajaran Islam dan orientasinya adalah penggunaan metode yang benar menurut ukuran Islam. Dakwah merupakan komunikasi ajran-ajaran Islam dari seorang da’i kepada umat manusia dikarenakan didalamnya terjadi proses komunikasi.
Al-Qur’an sebagai sumber dakwah itu sendiri secara khusus memberikan etika religius bagi praktek komunikasi, seperti lewat perintah agar selektif atas setiap yang diterima (tabayyun), melakukan check dan recheck, mengucapkan kata-kata yang dimulai dengan ucapan yang baik, perkataan yang mudah dipahami, ucapan yang berkesan dan sebagainya. [11]
Untuk mengetahui bagaimana orang-orang seharusnya berkomunikasi, harus dilacak kata kunci yang dipergunakan Al-Qu’an. Selain tabayyun, al-bayan¸kata kunci untuk komunikasi yang banyak disebut dalam Al-Qur’an adalah Al-Qawl. Kata al-Qawl itu sendiri terdapat lebih dari delapan kali dengan rangkaian kata yang berbeda, diantaranya: Qawlan maysuran (QS. Al-Isra/17: 28) yang berarti ucapan yang pantas dan mudah dipahami. Qawlan Balighan (QS. An-Nisa/4: 63) yang berarti perkataan yang membekas dan tertanam di jiwa. Qawlan Karima (QS. Al-Isra/17: 23) yang berarti perkataan yang menarik, benar dan bermanfaat. Qawlan Layyinan (QS. Thaha/20: 43-44) yang berarti tutur kata yang halus dibarengi dengan budi pekerti yang lembut. Qawlan ma’rufa (QS. An-Nisa:5)  yang berarti perkataan yang baik. Qawlan Saqilan yang berarti perkatan yang berat (amanahnya) dan harus disampaikan kepada umat manusia. Qawlan ‘Adziman (QS. Al-Isra/17: 40) berarti kata yang besar dosanya karena megada-ada kedustaan terhadap Allah SWT. [12]
Oleh karena itu Dakwah dan Komunikasi merupakan dua hal yang terkait satu sama lain. Dakwah merupakan bentuk komunikasi dan proses komunikasi diikat oleh etika-etika religius yang diatur dalam sumber dakwah.
B.     Pengertian Pemberdayaan Masyarakat Islam
Pemberdayaan berrasal dari bahasa Inggris “empowerment” yang secara harfiah bisa diartikan sebagai “pemberkuasaan”, dalam arti pemberian atau peningkatan “kekuasaan” (power) kepada masyarakat yang tidak beruntung.
Sekilas, makna pemberdayaan memiliki makna luas dari beberapa sudut pandang. Agar dapat memahami secara mendalam tentang pengertian pemberdayaan maka perlu mengkaji beberapa pendapat para ilmuwan yang memiliki komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat.
Robinson menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses pribadi dan sosial; suatu pembebasan kemampuan pribadi, kompetensi, kreatifitas dan kebebasan bertindak.[13] Sedangkan Ife mengemukakan bahwa pemberdayaan mengacu pada kata “empowerment”, yang memberi daya, memberi “power” (kuasa), kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya.[14]
Payne menjelaskan bahwa pemberdayaan pada hakekatnya bertujuan untuk membantu klien mendapatkan daya, kekuatan dan  kemampuan untuk mengambil keputusan dan tindakan yang akan dilakukan dan berhubungan dengan diri klien tersebut, termasuk mengurangi kendala pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan.[15] Orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan “keharusan” untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, keterampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan tanpa tergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal.
Empowerment atau pemberdayaan secara singkat dapat diartikan sebagai upaya untuk memberikan kesempatan dan kemampuan kepada kelompok masyarakat untuk berrpartisipasi, bernegosiasi, mempengaruhi, dan mengendalikan kelembagaan masyarakat secara bertanggung jawab demi perbaikan kehidupannya. Pemberdayaan juga diartikan sebagai upaya untuk memberikan daya (empowermet) atau kekuatan (strenght) kepada masyarakat.
Secara etimologis pengembangan berarti membina dan meningkatan kualitas dan masyarakat Islam berarti kumpulan manusia yang beragama Islam yang memilih hubungan dan keterkaitan ideologis satu dengan hal lainnya. Manusia memiliki fitrah dan keagamaan, sehingga manusia membutuhkan agama. Kelahiran Islam, yang ditandai dengan lahirnya Nabi Muhammad SAW pada tahun gajah tanggal 12 Rabiul Awal, atau tahun 570 M, adalah sebuah momen penting dalam sejarah Islam. Karena dari sinilah dimulai perjalanan panjang pengembangan masyarakat Islam yang menyatu dalam dakwah syi’ar Islam di Jazirah Arab.
Pengembangan Masyarakat (community Development) merupakan wawasan dasar bersistem tentang asumsi perubahan sosial terancang yang tepat dalam kurun waktu tertentu. Sedangkan teori dasar pengembangan masyarakat yang menonjol pada saat ini adalah teori ekologi dan teori Sumber daya manusia. Teori ekologi mengemukakan tentang “batas pertumbuhan”. Untuk sumber-sumber yang tidak dapat diperbaharui perlu dikendalikan pertumbuhannya. Teori ekologi menyarankan kebijaksanaan pertumbuhan darahkan sedemikian rupa sehingga dapat membekukan proses pertumbuhan (zero growth) untuk produksi dan penduduk. Berikut ini beberapa prinsip-prinsip ekologis sebagai landasan pengembangan masyarakat:
1.      Holisme/ menyeluruh
Prinsip holisme merupakan suatu ide bahwa segala sesuatu berhubungan dengan sesuatu keseluruhannya harus dianalis secara menyeluruh. Dari isu, problem, proses hingga solusi permasalahan
2.      Sustainabilitas/ berkelanjutan
Ciri pentinh dari sustainabilitas adalah pembatasan pertumbuhan
3.      Keanekaragaman
Prinsip menghargai keanekaragaman dapat mengatasi ancaman ekoogis pada budaya tunggal, tendensi kaum modernis, pengikisan identitas, globalisasi budaya dan wacana menghapuskan rasisme, seksisme, ageism (diskiriminasi atas umur) dan lain sebagainya.
4.      Perkembangan organik
Perkembangan organik berarti bahwa siapapun menghormati dan menghargai sifat-sifat khusus suatu masyarakat dan memungkinkan serta mendorongnya untuk berkembang sesuai dengan cara yang unik.
5.      Perkembangan yang seimbang
Pengembangan islam secara terpadu dan seimbang dalam bidang sosial, ekonomi, politik, budaya, lingkungan dan pengembangan personal/spiritual.[16]

Sering dikatakan bahwa pengembangan masyarakat Islam adalah wujud dari dakwah bil-hal. Tokoh Amrullah Ahmad, Nanih Machendrawati, dan Agus Ahmad mendefenisikan bahwa pengembangan masyarakat Islam adalah suatu sistem tindakan nyata yang menawarakan alternatif model pemecahan masalah ummah dalam bidang sosial, ekonomi dan lingkungan dalam perspektif Islam. Mentransformasikan dan melembagakan semua segi ajaran Islam dalam kehidupan keluarga (usrah), kelompok sosial (jamaah), dan masyarakat (ummah). Model empiris pengembangan perilaku individual dan kolektif dalam dimensi amal sholeh (karya terbaik), dengan titik tekan pada pemecahan masalah yang dihadapai oleh masyarakat.
Tim Islamic Community Development Model dari Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN pernah juga merumuskan ddefenisi untuk model pengembangan masyaarakat Islam, terdiri dari unsur-unsur:
1.      Mengutamakan perilaku pengembangan atau pemberdayaan masyarakat yang beragama Islam atau organisasi yang berdasarkan Islam.
2.      Mengutamakan pemberdayaan umat Islam yang tertinggal dalam segala hal.
3.      Mengutamakan pengguunaan dana yang bersumber dari dana filantropi Islam sepeti Zakat Mall, Zakat Fitrah, Infak atau Shodaqoh.
4.      Pendekatan pemberdayaan menggunakan pendekatan ke-Islaman.
5.      Filantropi Islam jika dijadikan sebagai bantuan modal sebaiknya menggunakan sistem bagi hasil.
6.      Pendamping atau agen perubahan diutamakan yang bergama Islam dan
7.      Melibatkan institusi mitra lokal yang berasaskan Islam.
Pranarka dan Vidhyandika menjelaskan bahwa proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memeberikan atau mengalihkan seebagai kekuatan, kekuasaan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya. Kedua, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog.
Para ilmuwan sosial dalam memberikan pengertian pemberdayaan mempunyai rumusan yang berbeda-beda dalam berbagai konteks dan bidang kajian, hal tersebut dikarenakan belum ada defenisi yang tegas mengenai konsep pemberdayaan. Oleh karena itu, agar dapat memahami secara mendalam tentang pengertian pemberdayaan maka perlu mengkaji beberapa pendapat para ilmuwan yang memiliki komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat.
Pertama akan kita pahami pengertian tentang pemberdayaan. Menurut Sulistiyani secara etimologis pemberdayaan berasal dari kata “daya” yang berarti kekuatan atau kemampuan.[17] Bertolak dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu prosees menuju berdaya atau pross pemberian daya (kekuatan/kemampuan) kepada pihak yang belum berdaya.  Kedua pengetian tentang masyarakat, menurut Soetomo masyarakat adalah sekumpulan orang yang saling berinteraksi secara kontinu, sehingga terdapat relasi sosial yang terpola, terorganisasi.[18]
Menurut Sunyoto Usma, pemberdayaan masyarakat adalah sebuah proses dalam bingkai usaha memperkuat apa yang lazim disebut community self-reliance atau kemandirian Dalam proses ini masyarakat didampingi untuk membuat analisis masalah yang dihadapi, dibantu untuk menemukan alternatif masalah tersebut, serta diperlihatkan strategi memanfaatkan berbagai resources yang dimiliki dan dikuasai. Dalam proses itu masyarakat dibantu bagaimana merancang sebuah kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, bagaimana mengimplementasikan rancangan tersebut, serta bagaimana membangun strategi memperoleh sumber-sumber eksternal yang dibutuhkan sehingga memperoleh hasil yang optimal.[19]
Sedangkan menurut Abdurrahman Wahid, pengembangan masyarakat Islam adalah usaha untuk membina dan mengembangkan masyarakat Islam dalam aspek sosial engencering dan kesejahteraan sosial melalui pengkajian, penelitian dan rekayasa sosial untuk mewujudkan sumberdaya manusia yang berrmutu dan berkualitas. Pengembangan diri dan masyarakat menjadi agen perubahan sosial dan kesejahteraan dalam sosial pembangunan masyarakat Islam.
Secara konseptual, pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan dan memampukan masyarakat.[20]
Salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam melakukan usaha pemberdayaan dan pembangunan masyarakat adalah mutu dan jumlah SDM yang menjalankan pembangunan. Namun demikian, jumlah penduduk saja tidak menjamin keberhasilan pembangunan, bahkan sebaliknya dapat mengancam pembangunan itu sendiri.[21] Pembangunan SDM sebagai bentuk pengembangan masyarakat hraus tetap dilakukan dengan cara memanfaaatkan SDM yang tersedia secara optimal, yaitu dengan cara mengubah komposisi SDM dari yang berpendidikan rendah dan tidak berpendidikan ke arah SDM yang memiliki keterampilan tinggi. [22]
Sebelum ditarik kesimpulan tentang pemberdayan masyarakat, terlebih dahulu kita pahami makna pemberdayaan masyarakat menurut para ahli lainnya. Menurut Moh. Ali Aziz, dkk “Pemberdayaan Masyarakat merupakan suatu proses dimana masyarakat, khususnya mereka yang kurang memiliki akses ke sumberdaya pembangunan didorong untuk meningkatkan kemandiriannya di dalam mengembangkan perikehidupan mereka. Pemberdayaan masyarakat juga merupakan proses siklus terus menerus, proses partisispatif dimana anggota masyarakat bekerjasama dalam kelompok formal maupun informal untuk berbagai pengetahuan dan pengalaman serta berusaha mencapai tujuan bersama. Jadi, pemberdayaan masyarakat lebih merupakan suatu proses.[23]
Selanjutnya pemaknakaan pemberdayaan masyarakat menurut Madekhan Ali yang mendefenisikan pemberdayaan masyarakat sebagai berikut ini:
“Pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah bentuk partisipasi untuk membebaskan diri mereka sendiri dari ketergantungan mental maupun fisik. Partisipasi masyarakat menjadi satu elemen pokok dalam strategi pemberdayaan dan pembangunan masyarakat, dengan alasan; pertama, partisipasi mayarakat merupakan satu perangkat ampuh untuk memobilisasi sumberdaya lokal, mengorganisir serta membuka tenaga, kearifan dan kreativitas masyarakat. Kedua, partisipasi masyarakat juga membantu upaya identifikasi dini terhadap kebutuhan masyarakat”.[24]
Sehingga kelebihan itu perlu dibina agar dapat mengembangkan potensi pribadi untuk dapat membangun. Adapun menurut Amarullah Ahmad, pengembangan masyarakat Islam adalah sistem tindakan nyata yang menawarkan alternatif modern pemecahan masalah ummah dalam bidang sosial, ekonomi dan lingkungan dalam perspektif Islam, dengan demikian penggabungan perilaku individu dan kolektif dalam dimensi amal sholeh.
Masyarakat Islam berarti kumpulan manusia yang beagama Islam, yang meneliti hubungan dan keterkaitan ideologis yang satu dengan yang lainnya. Syari’ati menggunakan term ummah untuk mensubtitusi terminologi masyarakat Islam. Bagi Syari’ati, ummah tidak lain adalah masyarakat yang berhijrah, yang satu sama lain saling membantu agar bisa bergerak menuju tujuan yang mereka cita-citakan. Dalam pengertian yang lebih generik, ummah dipandang sebagai persaudaraan Islam, seluruh masyarakat Muslim. Yang mempertalikan kaum Muslim menjadi satu kesatuan adalah kesamaan pandangan dunia (din), yang didasarkan pada sebuah gagasan universal (tauhid)  dan sejumlah tujuan bersama: mencari keadilan (‘adl), dan ilmu (ilm) dalam upaya memenuhi kewajiban sebagai pengemban amanah (khilafah) Tuhan.[25] Dalam pemikiran sosiologis, Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa manusia itu secara individu diberikan kelebihan namun secara kodrati manusia memiliki kekurangan.
Mengacu pada pengertian dan teori para ahli, pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya memebangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya sehingga masyarakat dapat mencapai kemandirian. Kemudian dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan daya atau kekuatan pada masyarakat dengan cara memberi dorongan, peluang, kesempatan dan perlindungan dengan tindakan mengatur dan mengendalikan kegiatan masyarakat yang diberdayakan untuk mengembangkan potensinya sehingga masyarakat tersebut dapat meningkatkan kemampuan dan mengaktualisasikan diri dan berpartisispasi melalui bebagai aktivitas.
C.    Arah Dakwah dan Pemberdayaan Masyarakat Islam
Membangun (mengembangkan) suatu masyarakat agar menjadi maju, mandiri dan berbudi bukanlah sesuatu yang mudah, seperti membalikkan telapak tangan. Upaya tersebut tidak hanya membutuhkan tekad dan keyakinan, tetapi juga kerja keras dan tak kenal lelah. Berbagai teori pembangunan bermunculan, dan dianut oleh berbagai bangsa dan negara seperti teori pertumbuhan yang dikembangkan oleh Rostow dan Harrod Domar, dan konsep ini pula tampaknya telah diadopsi pemerintah Indonesia pada masa orde baru dengan istilah masyarakat tinggal landas. Walaupun pada akhirnya keadaan ekonomi bangsa Indonesia terpuruk ke titik nadir karena tidak mempertimbangkan pembangunan dari aspek mental bangsa.
Masalah lain yang kemudian muncul adalah bagaimana arah pengembangan atau pembangunan masyarakat Islam? Untuk menjawab pertanyaan sederhana ini layak kiranya kita telaah terlebih dahulu makna masyarakat Islam. Yusuf Qardhawi mengemukakan bahwa masyarakat Islam adalah masyarakat yang komitmen memegang teguh aqidah Islamiyah “Laa ilaaha illallah Muhammadan Rasullullah” (menolak keyakinan lain) tertanam dan berkembang dalam hati dan sanubari, akal dan perilaku diri pribadi menularkan kepada sesama dan generasi penerus.
Sedangkan yang akan dituju dalam pengembangan masyarakat Islam adalah masyarakat Islam ideal, seperti gambaran masyarakat yang dibangun oleh Rasulullah bersama umat Islam pada awal kehadirannya di Madinah, kota yang dahulu bernama Yatsrib dirubah dengan nama baru “Madinah al-nabi” dari asal kata madaniyah atau tamaddun (civilitation) yang berarti peradaban, maka masyarakat Madinah atau Madani (civil Society) adalah masyarakat yang beradab yang dilawankan dengan masyarakat Badwy, yang berarti masyarakat yang pola kehidupannya berpindah (Nomaden) dan belum mengenal norma aturan.[26]
Melihat gambaran masyarakat Islam ideal dari kondisi jahiliyah menjadi masyarakat yang beradab, berwawasan bernorma, maka arah pengembangan masyarakat Islam bukan sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi seperti Rostow dan Harrod Domar, tetapi harus diimbangi dengan landasan moral spiritual sebagai alat kontrol.
Rasulullah SAW dalam membangun masyarakat Madani di Yatsrib pada saat itu diawali dengan pembentukan nilai-nilai spiritual Islam di tengah-tengah masyarakat Yatsrib. Langkah pertama yang dilakukan Rasulullah adalah membangun masjid. Masjid bukan hanya berfungsi sebagai tempat sholat saja, melainkan sebagai tempat pendidikan, sebagai balai pertemuan, dan juga mengatur segala urusan sekaligus sebagai gedung parlemen untuk bermusyawarah dan menjalankan roda pemerintahan.[27]
Ketika pemerintahan Madinah terbentuk, beliau mencanangkan beberapa program pembangunan masyarakat selain membangun masjid, yaitu menjalin persatuan sesama muslim. Hubungan sesama warga negara saat itu diikat dengan rasa cinta, saling membantu, dan semangat persaudaraan. Dalam tingkat aplikasinya, kebijakan ini dilaksanakan dengan mempersaudarakan antara orang-orang muhajirin dan anshar. Rasulullah juga membuat perjanjian antarkabilah untuk menyingkirkan segala dendam lama yang pernah terjadi diantara mereka. Kemudian Rasulullah menata pola perhubungan dengan kaum nonmuslim dalam bentuk perjanjian. Segala bentuk aturan dan perjanjian ini tercantum dalam sebuah bangunan sistem perundang-undangan yang disebut dengan Piagam Madinah. Dua tahun pertama dijalani Rasulullah SAW. Dengan penataan internal, kemudian turun perintah Allah tentang berjihad. [28]
Berangkat dari sejarah dakwah dan pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, dakwah pembangunan dan pengembangan masyarakat arahnya adalah untuk mencapai kondisi mental (iman, ihsan, taqwa dan sejenisnya) yang stabil dengan kondisi kehidupan yang lain baik dalam kehidupan individu maupun sosial. Dan paradigma yang digunakan Comte, Durkheim maupun Weber, tetapi paradigma spiritual yang bersumber dari Al-Qur’an (tentunya harus dijabarkan lebih lanjut) yakni “Litukhrijan naasa minadzulumaati ilan nuri”, dalam bahasa dakwah dipahami dengan apa yang disebut an-nahyu ‘ani al-munkar dan lain-lain yang tidak termasuk kategori munkar tetapi memerlukan perbaikan dan peningkatan seperti: kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, ketertindasan dan sejenisnya.
Pendek kata semua bentuk dan jenis masalah yang dihadapi dalam kehidupan masyarakat. Sedang ‘ilan an nur, dalam pengertian dakwah dapat dipahami dalam konsep al amru bil ma’ruf. Mengajak manusia kepada iman, taqwa, ihsan, akhlakul karimah, kemajuan, keadilan, pemerataan dan lain-lain. Dalam hal ini bagaimana bagi mereka yang sudah dalam kategori atau kondisi an nur atau al-ma’ruf? Apakah mereka tidak perlu lagi pengembangan?
Pertanyaan ini dapat dijawab dengan dasar asumsi, bahwa seseorang atau kelompok ataupun masyarakat tentu menggali persoalan, hanya saja berat ringannya persolan berbeda. Maka jawaban dari pertanyaan tersebut adah semua orang atau masyarakat memerlukan usaha pengembangan, hanya saja dalam pengembangan masyarakat harus dilihat skala prioritas, mana yang penting dan mana yang kurang penting. Bagi masyarakat yang dalam kondisi sudah baik kondisi sosial, ekonomi dan budayanya maka pengembangan lebih bermakna peningkatan dan memelihara kondisi baik tersebut agar tidak terkena virus munkar.
D.    Tujuan Dakwah Dan Pemberdayaan Masyaarakat Islam
Berangkat dari sebuah asumsi dasar bahwa setiap orang dalam kelompok masyarakat mesti mengalami perubahan baik lambat maupun cepat, dalam merancang perubahan tersebut dalam masyarakat muncul persoalan hidup dan kehidupan, baik yang berkaitan dengan persoalan material maupun nonmaterial baik individu maupun kelompok. Setiap manusia anggota masyarakatselalu berusaha untuk mengatasi masalah tersebut, ada yang mampu mengatasinya sendiri dengan memanfaatkan segala daya kemampuannya dan adapula yang membutuhkan bantuan orang lain. Artinya ada yang mampu mengaktualisasikan kemampuan yang dimiliki dalam mengatasi masalahnya, adapula yang membutuhkan bantuan orang lain atau kelompok lain. Disinlah fungsi dakwah sebagai penyebar an-nur dan rahmat (fungsi pengembang) bagi seluruh umat manusia bahkan alam semesta.
Dakwah yang dilaksanakan dalam rangka mengembangkan masyarakat, sesuai dengan namanya maka, hendaknya dilaksanakan dengan gerakan jama’ah dan dakwah jama’ah, artinya: jama’ah menunjukkan suatu kelompok masyarakat yang lebih luas dari keluarga yang hidup bersama untuk secara bersama-sama mengidentifikasi persoalan dan masalah hidup, mengenai kebutuhannya baik dalam urusan ubudiyah, uluhiyah maupun bidang kehidupan lainnya seperti: sosial, ekonomi, politik dan lain-lain. Karena itu kata jama’ah tidak ada kaitannya dengan jama’ah Islamiyah yang pernah berkembang di Indonesia.[29]
Pelaksanaan dakwah jama’ah merupakan program kegiatan dakwah yang menempatkan seseorang atau kelompok orang yang merrupakan inti utama gerakan jama’ah (pengembang masyarakat) atau da’i. Sedangkan jama’ah adalah kelompok masyarakat yang berada dalam lingkup geografis yang sama dengan inti jama’ah dan bersama-sama mengembangkan potensi yang dimiliki jama’ah dalam rangka mengatasi persoalan hidup yang dimiliki jama’ah, jika perlu maka dapat diangkat pamong jama’ah yang berfungsi sebagai koordinator (sesepuh jama’ah atau masyarakat) dalam mendiskusikan segala permasalahan yang mereka hadapi.
Koordinator dalam kajian pemberdayaan, disebut dengan fasilitator/ penyuluh. Istilah fasilitator itu sendiri adalah pekerja atau pelaksanaan pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan status dan lembaga tempatnya bekerja, fasilitator dibedakan dalam (UU No. 16 Tahun 2006):
1.      Pegawai Negeri Sipil (PNS), Yaitu pegawai negeri yang ditetapkan dengan status jabatan fungsional sebagai penyuluh/fasilitator.
2.      Penyuluh/ fasilitator swasta, yaitu fasilitator pemberdayaan masyarakat yang berstatus sebagai karyawan perusahan swasta (produsen pupuk, pestisida dll) termasuk kategori penyuluh swasta yaitu penyuluh dari lembaga swadaya masyarakat (LSM)
3.      Penyuluh/fasilitator, pemberdaya masyarakat yang berasal dari masyarakat secara sukarela melakukan pemberdayaan masyarakat di lingkungannya.[30]
Inti jama’ah sebagai pengembang masyarakat dituntut memiliki kemampuan lebih (dalam bidang tertentu) dibandingkan jama’ah, tetapi dalam bidang tertentu lainnya jama’ah sebenarnya lebih mengetahui dan menguasai. Setidaknya inti jama’ah (pengembang atau da’i) memiliki kemampuan dan keahlian. Pertama, menganalisis problem sosial keagamaan masyarakat. Kedua, merancang kegiatan pengembangan masyarakat berdasarkan hasil analisis problem. Ketiga, mengelola dan melaksanakan kegiatan pengembangan berdasarkan rencana yang telah disepakati. Keempat, mengevaluasi kegiatan pengembangan masyarakat dan kelima, melatih jama’ah atau masyarakat dalam menganalisis problem yang dihadapi jama’ah atau masyarakat, merancang, mengelola dan melaksanakan kegiatan pengembangan serta mengevaluasi kegiatan pengembangan.
Berdasarkan uraian tersebut dpaat dirumuskan beberapa tujuan pengembangan masyarakat Islam yaitu memiliki akidah yang kuat, akhlak mulia dan istiqamah serta memilki keahlian (skill) yang memadai. Secara sistematis arah tujuan pengembangan masyarkaat Islam tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Menganalisis problem sosial secara umum dan keagamaan secara khusus yang muncul dalam kehidupan masyarakat sebagai akibat adanya perubahan sosial.
2.      Merancang kegiatan pengembangan masyarakat berdasarkan problem yang ada, berdasarkan skala prioritas.
3.      Mengelola dan melaksanakan kegiatan pengembangan masyarakat berdasarkan rencana yang disepakati (kemampuan menjadi pendamping).
4.      Mengevaluasi seluruh proses pengembangan masyarakat (evaluasi pendampingan)
5.      Melatih masyarakat dalam menganalisis problem yang mereka hadapi, merancang, mengelola dan mengevakuasi kegiatan pengembangan masyarakat (pelatihan-pelatihan pendampingan)






           






BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1.      Dakwah adalah suatu usaha yang dilakukan dengan sadar dan terencana  untuk memperbaiki situasi yang lebih baik dengan mengajak manusia untuk selalu ke jalan Allah AWT sehingga tercapai tujuan bahagia dan sejahtera, baik di dunia maupun di akhirat.
2.      Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan daya atau kekuatan pada masyarakat dengan cara memberi dorongan, peluang, kesempatan dan perlindungan dengan tindakan mengatur dan mengendalikan kegiatan masyarakat yang diberdayakan untuk mengembangkan potensinya sehingga masyarakat tersebut dapat meningkatkan kemampuan dan mengaktualisasikan diri dan berpartisispasi melalui bebagai aktivitas.
3.      Dakwah pembangunan dan pengembangan masyarakat arahnya adalah untuk mencapai kondisi mental (iman, ihsan, taqwa dan sejenisnya) yang stabil dengan kondisi kehidupan yang lain baik dalam kehidupan individu maupun sosial.
4.      Tujuan pengembangan masyarakat Islam yaitu memiliki akidah yang kuat, akhlak mulia dan istiqamah serta memilki keahlian (skill) yang memadai.

















DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar Atjeh, Beberapa Catatan Mengenai Dakwah Islam, Semarang: Ramadani, 1979
Abu Huraerah, Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat, Bandung: Humaniora, 2008
Amin Rais, Cakrawala Islam, Bandung: Mizan, 1991Thomas W. Arnold, Sejarah Dakwah Islam (terjemahan dari The Preaching of Islam), Jakarta: Wijaya, 1983
Amrullah Ahmad, ed. Dakwah dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Prima Duta, 1983
A. Hasymy, Dustur Dakwah menurut al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1997Totok Mardikanto dan Poerwoko Soebianto, Pemberdayaan Masyarakat Dalam Perspektif kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta, 2013
Farid Ma’ruf Noor, Dinamika dan Akhlak Dakwah, Surabaya: Bina Ilmu, 1981
Ife, J.W., Community Development: Creating Community Alternatives, Vision, Analysis and Practice: Longman, Australia, 1995
Jim Ife dan Frank Tesoriero. Community Development: Community-Based Alternatives in an Age of Globalisation. Terj. Sastrawan Manullang dkk,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006
Madekhan Ali, Orang Desa anak Tiri Perubahan, Malang: Averroes Press, 2007
Moh Ali Aziz dan Rr. Suhartini, dkk.  Dakwah Pemberdayaan Masyarakat Paradigma Aksi Metodologi, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005
Mohd. Rafiq, Ilmu Komunikasi, Diktat, Institut Agama Islam Negeri Padangsidimpuan, Padangsidimpuan, 2014Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, Jakarta: Amzah, 2013
Munir Mulkhan, Ideologi Gerakan Dakwah, Yogyakarta: Sipress, 1996
Murdi Yatmo Hutomo, Pemberdayaan Masyarakat Dalam Bidang Ekonomi Tinjauan Teoritik dan Implementasi ,Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta, 2001
Nanich Machendrawati dan Agus Ahmad Syafei, Pengembangan Masyarakat Islam dari Ideologi, Strategi sampai Tradisi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001
Nur Kholis Majid, Islam Doktrin dan Peradaban, Dian Rakyat & paramadina, 1992
Payne, M., Social Work and Community Care, London: McMillan, 1997
Robinson, J.R., Community Development in Perspective, Ames: Lowa State University Press, 1994
Soetomo, Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011
Sulistyani, Ambar T& Rosidah, Manajemen Sumberdaya Manusia : Konsep, Teori dan Pembangunan dalam Konteks Organisasi Publik. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2003
Syafiyurrahman Al-Mubarakfuri. Ar-Rahiq Al-Makhtum Bahtsun fis Siratin Nabawiyyati ‘ala Shahibiha Afdhalush Shalati was Sallam, terj. Agus Suwandi, Jakarta: Ummul Qura, 2011
Toha Yahya Oemar, Ilmu Dakwah, Jakarta: Wijaya, 1976
Wahyu Ilahi dan Harjani Hefni, Pengantar Sejarah Dakwah, Jakarta: Prenamedia Group, 2007





[1] Thomas W. Arnold, Sejarah Dakwah Islam (terjemahan dari The Preaching of Islam), (Jakarta: Wijaya, 1983), hal. 1
[2] Totok Mardikanto dan Poerwoko Soebianto, Pemberdayaan Masyarakat Dalam Perspektif kebijakan Publik, (Bandung: Alfabeta, 2013), hal. 63-64
[3] Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Amzah, 2013), hal. viii
[4] Ibid, hal. ix
[5] A. Hasymy, Dustur Dakwah menurut al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hal. 18
[6] Amrullah Ahmad, ed. Dakwah dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Prima Duta, 1983), hal. 2
[7] Amin Rais, Cakrawala Islam, (Bandung: Mizan, 1991), hal. 26.
[8] Farid Ma’ruf Noor, Dinamika dan Akhlak Dakwah, (Surabaya: Bina Ilmu, 1981), hal. 29
[9] Abu Bakar Atjeh, Beberapa Catatan Mengenai Dakwah Islam, (Semarang: Ramadani, 1979), hal. 6.
[10] Toha Yahya Oemar, Ilmu Dakwah (Jakarta: Wijaya, 1976), hal. 1
[11] Mohd. Rafiq, Ilmu Komunikasi, (Diktat, Institut Agama Islam Negeri Padangsidimpuan, Padangsidimpuan, 2014), hal. 61
[12] Ibid, hal. 61-66
[13] Robinson, J.R., Community Development in Perspective, (Ames: Lowa State University Press, 1994), hal. 125
[14] Ife, J.W., Community Development: Creating Community Alternatives, (Vision, Analysis and Practice: Longman, Australia, 1995), hal. 182
[15] Payne, M., Social Work and Community Care, (London: McMillan, 1997).
[16] Jim Ife dan Frank Tesoriero. Community Development: Community-Based Alternatives in an Age of Globalisation. Terj. Sastrawan Manullang dkk, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006) hal. 495-502
[17] Sulistyani, Ambar T& Rosidah, Manajemen Sumberdaya Manusia : Konsep, Teori dan Pembangunan dalam Konteks Organisasi Publik. (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2003) hal. 77
[18] Soetomo, Pemberdayaan Masyarakat. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal. 25
[19] Abu Huraerah, Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat, (Bandung: Humaniora, 2008), hal 87
[20] Murdi Yatmo Hutomo, Pemberdayaan Masyarakat Dalam Bidang Ekonomi Tinjauan Teoritik dan Implementasi (Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta, 2001), hal. 10
[21] Moh Ali Aziz dan Rr. Suhartini, dkk.  Dakwah Pemberdayaan Masyarakat Paradigma Aksi Metodologi, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), hal. 103
[22] Ibid, hal. 118
[23] Ibid, hal. 136
[24] Madekhan Ali, Orang Desa anak Tiri Perubahan, (Malang: Averroes Press, 2007), hal. 86
[25] Nanich Machendrawati dan Agus Ahmad Syafei, Pengembangan Masyarakat Islam dari Ideologi, Strategi sampai Tradisi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hal. 6
[26] Nur Kholis Majid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Dian Rakyat & paramadina, 1992), hal 312-315.
[27] Syafiyurrahman Al-Mubarakfuri. Ar-Rahiq Al-Makhtum Bahtsun fis Siratin Nabawiyyati ‘ala Shahibiha Afdhalush Shalati was Sallam, terj. Agus Suwandi, (Jakarta: Ummul Qura, 2011), hal. 348-349
[28] Wahyu Ilahi dan Harjani Hefni, Pengantar Sejarah Dakwah, (Jakarta: Prenamedia Group, 2007), hal. 56-60
[29] Munir Mulkhan, Ideologi Gerakan Dakwah, (Yogyakarta: Sipress, 1996), hal. 214
[30] Totok Mardikanto dan Poerwoko Soebianto, Op.Cit., hal. 139-140.
 


 

3 comments:

  1. Apa yang dimaksud dengan dakwah yg dianggap sbg pesan dari luar ??

    ReplyDelete
  2. Bagaimana indikator bijaksana dalam konteks dakwah yang terdapat pada paragraf ke 8 yang dikemukakan oleh Toha Yahya Umar? dan bagaimana sebenarnya masyarakat yang dicitakan oleh islam?

    ReplyDelete
  3. Apa hakikat dari arah dan tujuan PMI ???

    ReplyDelete