Monday, September 25, 2017

KONSEP, DIMENSI DAN INDIKATOR DAKWAH DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT ISLAM


MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH DESAIN DAN SKENARIO PMI





OLEH :

MAYA INDAH LESTARI
                  NIM. 14 303 00011                    

DOSEN PEMBIMBING :
Zilfaroni, S.Sos. I M.A

JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM SEMESTER VII
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
           
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PADANGSIDIMPUAN
TAHUN AKADEMIK 2017/2018







KATA PENGANTAR
      Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, dan karunianya sehingga makalah ini berhasil diselesaikan dengan judul KONSEP, DIMENSI DAN INDIKATOR DAKWAH DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT ISLAM"
      Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas makalh kuliah Desain Skenario PMI. Diharapkan makalah ini bermanfaat untuk kita semua dalam menambah pemahaman dan pengaplikasian kita mengenai Desain Skenario PMI.
      Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, sebab kita sebagai manusia biasa biasa yang tak luput dari kekasalahan. Pepatah mengatakan,” Tak ada gading yang tak retak” oleh karena itu, saya mengharapkan kritik maupun saran yang bersifat membangun untuk menyempurnakan makalah ini.
      Akhir kata saya ucapkan terimakasih, semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kedepannya.














DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................ i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN     
A.      Konsep Dakwah dan Pemberdayaan Masyarakat Islam .........................................................2
B.      Dimensi dan Indikator Dakwah dan Pemberdayan Masyarakat Islam......................................7

BAB III PENUTUP................................................................................................................ 13
Kesimpulan.............................................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................14









BAB I
PENDAHULUAN

Setelah mengetahui pengertian dan arah serta tujuan Dakwah dan pemberdayaan Masyarkat Islam, maka yang selanjutnya perlu untuk dipelajari adalah bagaiamana konsep, dimensi dan indikator dakwah dan Pemberdayaan Masyarakat Islam. Konsep merupakan rancangan, ide aatau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret. Dengan memahami konsep kita akan lebih mudah melihat arah dan tujuan Dakwah dan Pemberdayaan Masyarakat Islam. Sedangkan dimensi dan indikator adalah ukuran dan petunjuk pelaksanaan Dakwah dan Pemberdayaan Masyarakat tersebut.






















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Konsep Dakwah dan Pemberdayaan Masyarakat Islam
Istilah pemberdayaan atau empowerment menjadi sebuah istilah yang pernah populer di tengah-tengah masyarakat Indonesia terutama pada saat terjadinya krisis moneter yang bersifat multidimensi. Kata “pemberdayaan” sering dirangkaikan dengan kata lain seperti kata organisasi, birokrasi, dan kata-kata lain tidak ketinggalan pula kata masyarakat.
Banyak oang memaknai istilah pemberdayaan dari satu sudut pandang sesuai dengan kepentingannya. Namun istilah pemberdayaan sebenarnya memiliki aspek yang sangat luas sehingga menjelaskan istilah pemberdayaan harus digunakan berbagai konsep dan teori dari berbagai pakar yang memang ahli dibidangnya. Oleh karena itu menjelaskan istilah pemberdayaan masyarakat dari sudut pandang teoritis diperlukan suatu ketajaman analisa sehingga istilah pemberdayaan masyarakat dapat dikonkritkan menjadi suatu konsep yang diukur dan dapat pula dilihat dari berbagai macam indikatornya sehingga istilah pemberdayaan masyarakat menjadi suatu istilah yang dapat digambarkan secara jelas.
Ide pemikiran tentang bahasan pemberrdayaan masyarakat berangkat pada keberadaan manusia sebagai sebuah sumber daya. Aspek dari sumberr daya manusia yaitu pertama sumber daya dan manusia. Sumber daya bermakna sebagai kekayaan suatu bangsa yang menjadi modal bagi kejayaan masa depan. Sedangkan nilai sumberdaya sebagai kekuatan pengikat, penggerak atau pola perilaku suatu masyarakat menjadi sebuah bangsa yang harus terus menerus dipelihara.[1] Kemudian makna manusia adalah makhluk Tuhan yang diciptakan memiliki kemampuan berfikir yang sangat tinggi, bakat serta naluri untuk meningkatkan kualitas hidupnya dibandingkan dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya.
Sumber daya manusia adalah sebagai kekuatan daya pikir dan berkarya manusia yang masih tersimpan dalam dirinya yang perlu dibina dan digali serta dikembangkan untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan hidup manusia.[2] Dengan demikian suber daya mnusia harus selalu dikembangkan menuju kepada kehidupan manusia yang berkualitas yang diharapkan sesuai dengan taraf perkembangan zaman dimana manusia itu hidup.
Realitas yang terjadi di Indonesia, bahwa untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dilakukan berbagai kegiatan yang selalu diberikan label yaitu “Pembangunan”. Akan tetapi aspek pembangunan yang dilakukan lebih kepada pembangunan yang bersifat ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kehidupan manusia dari sisi materil, jasmani dan untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan standar ukur ekonomi belaka. Asumsi-asumsi pertumbuhan dan pemerataan menjadi suatu pendekatan pembangunan ekonomi  yang dijalankan tanpa melihat dari sisi lain seperti aspek sosial budaya dan ketersediaan sumber daya manusia yang dimiliki. Akibatnya ketidakmerataan terjadi antar masyarakat, antar daerah, bahkan terjadi sebuah kawasan yang menimbulkan dua kutub yang berbeda misalnya kutub barat dan kutub timur, Jawa dan luar Jawa. Perbedaan-perrbedaan yang terjadi membawa kepada implikasi yang sangat serius dan perlu mendapat perhatian dari pemerintah sebagai desainer dan pemrakarsa pemabangunan itu sendiri.
Tidak seimbangnya pembangunan ekkonomi disatu sisi dengan pembangunan ekonomi disisi yang lain harus diakui telah meningkatkan pertumbuhan dan kemajuan, tetapi berdampak pada tidak meratanya distribusi pendapatan, melajunya kesenjangan, perbedaan antara yang kaya dan yang miskin, anatara ekonomi kuat dan eknomi lemah, dan juga kesenjangan antar daerah.
Permasalahan utama sehingga terjadinya kesenjangan itu oleh karena dalam kurun waktu yang cukup lama orientasi pembangunan lebih menitik beratkan pada pembangunan ekonomi dan mengabaikan pembangunan yang lainnya. Oleh karenanya, pembangunan tidak hanya melihat dari kontribusi pemikiran ahli-ali ekonomi semata, tetapi pemikiran-pemikiran para pakar dari berbagai disiplin ilmu lainnya perlu diperhatikan dalam perumusan dan pengambilan keputusan, sehingga kata-kata kunci dalam ukuran sosial ekonomi masyarakat seperti: kualitas manusia, kualitas masyarakat, ukuran maju, ukuran mandiri, susasana tenteram, dan sejahtera lahir batin menjadi jelas, baik bagi masyrakat dan juga terlebih bagi pemerintah dalam memacu pembangunan sosial ekonomi.
Kenyataan-kenyataan empirik membuktikan bahwa kesejahteraan ekonomi tidak dapat menjamin kesejahteraan sosial, namun kondisi sosial dan budaya yang baik akan memberikan situasi ekonomi yang baik.
Kenaikan pendapatan nasional tidak membawa kenaikan kesejahteraan sosial, jika kenaikan pendapatan itu kurang dibarengi denan penyesuaian budaya. Wawasan sosial budaya masyarakat haruslah diubah jikalau pembangunan diharapkan dapat berjalan. Manakala terdapat hambatan sosial yang menghalangi kemajuan ekonomi, hambatan tersebut harus disingkirkan atau disesuaikan. Organisasi sosial seperti keluarga bersama, sistem kasta, warna kulit, dogma agama dan kehidupan desa harus dimodifikasi sehinga selaras dengan pembangunan. Setiap perubahan budaya atau sosial biasanya membawa ketidakpuasan dan perlawanan dibelakangnya, yang karena itu dapat berpengaruh buruk kepada perekonomian. Karena kesejahteraan ekonomi merupakan sebagian saja dari kesejahteraan sosial pada umumnya, maka yang terakhir inilah yang harus mendapat perhatian utama.
Dimensi manusia dan kemanusiaan merupakan faktor yang paling menentukan situasi dan kondisi yang harmonis dalam sitem kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Paradigma pertumbuhan sosial dan ekonomi ditinjau dari konsep pembangunan “growth paradigm” menimbulkan kelompok negara maju dan negara berkembang. Untuk mengejar ketinggalan sosial ekonominya, negara-negara berkembang menerapkan konsep paradigma pertumbuhan yang ditandai oleh meningkatnya pertumbuhan pendapatan nasional (gross national product).
Peningkatan gross national product ternyata tidak menjamin meratanya distribusi pendapatan nasioanal dan harapan “trickle down effect” bahkan belum berhasil mengatasi dan menghapus kemiskinan, pengangguran, ketimpangan, ketidakberdayaan (powerlessness), kerapuhan (vulnerability), kelemahan fisik (weakness), dan keterasingan (isolation).
Konsep ini menurut Kartasasmita bahwa yang terjadi di banyak negara berkembang, pembangunan justru mengakibatkan kesenjangan ekonomi yang melebar. Hal ini disebabkan oleh karena meskipun pendapatan dan konsumsi makin meningkat, kelompok masyarakat yang sudah baik keadaanya dan lebih mampu, lebih dapat memanfaatkan kesempatan, antara lain karena posisinya yang menguntungan (privileged) sehingga akan memperoleh semua atau sebagian besar hasil pembangunan. Dengan demikian, yang kaya makin kaya dan yang miskin tetap miskin bahkan dapat menjadi lebih miskin.[3]
Pandangan dan pemikiran Kartasasmita itu, persoalan mendasarnya adalah pertumbuhan ekonomi yang begitu cepat tidak diimbangi oleh kemajuan masyarakat di bidang sosial dan bidang budaya sehingga kecenderungan sosial yang terjadi adalah harkat dan martabat manusia terabaikan, kepercayaan masyarakat terhadap diri mereka sendiri rendah serta wawasan transformasi sosial yang terus melemah.
Konteks ini menurut Tjokrowinoto bahwa manifestasi dampak sosial dari pembangunan ekonomi amat bervariasi, antara lain terrjadinya konsentrasi dan marginalisasi kekayaan dan kekuasaan, terjadinya proses unidimensionalisasi manuisa yang cenderung memandang manusia sebagai salah satu faktor produksi semata-mata, timbulnya depedensi masyarakat yang terlalu besar, baik pada birokrasi maupun proyek, ketidakberdayaan masyarakat menjadi delivered development, disparitas struktural maupun regional dan sebagainya.[4]
Argumentasi diatas dapat dikemukakan bahwa ada kecenderungan awal di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, dimana dimensi pembanguunan ekonomi dan dimensi pembangunan politik menduduki posisi sentral dalam pembangunan nasional. Kedua dimensi itu telah memarjinalkan potensi manusia yang memiliki nilai-nilai yang harus dihargai, baik kapasitasnya sebagai individu maupun makhluk sosial. Ketidakarifan ini telah menimbulkan dampak-dampak yang kurang menguntungkan secara sosial sebagaiman yang dapat disaksikan saat ini.
Argumentasi tentang pentingnya aspek-aspek sosial dari pada aspek ekonomi dikemukakan oleh Rachbini bahwa pengakuan sosial dan hubungan-hubungan kekerabatan yang sangat erat mengalahkan hubungan-hubungan lainnya yang bersifat ekonomistik. Karena itu kebutuhan akan kebanggan sosial dinilai lebih menonjol dibanding kepentingan ekonomi. Dengan kata lain, motif moral dan tindakan sosial menjadi dasar paling tepat untuk mengarahkan keputusan-keputusan yang diambil. Soal-soal yang berkaitan dengan masalah ekonomi dianggap sebagai persoalan sekunder, yang tidak lebih diutamakan.
Konstruksi tersebut sangat beralasan jika kita melihat suatu keadaan masyarakat yang secara ekonomi cukup bahkan berlebihan, tetapi kehidupan mereka penuh dengan kecemasan, kegelisahan dan tidak memiliki kehidupan yang tenteram dan aman. Suasana kehidupan yang sarat dengan ketidakharmonisan ini ditandai oleh padangan keseharian yang dapat dilihat seperti: penyebaran isu dan fitnah antar sesama, unjuk rasa dan demonstrasi yang tidak manusiawi dan beragam fenomena atu gejala-gejala sosial yang kurang baik.
Tindakan-tindakan yang memungkinkan masyarakat atau unit sosial untuk meningkatkan kemampuannya mengubah masa depan mereka yang dilakukan atas pilihan mereka sendiri merupakan upaya-upaya yang sangat positif agar mereka dapat berdaya. Oleh karena itu, konsep pembangunan pada dasarnya sebagai upaya peningkatan kemampuan masyarakat untuk mengendalikan masa depan.
Pembangunan sebagai peningkatan kemampuan untuk mengendalikan masa depan mengandung beberapa implikasi, diantaranya:
·         Pertama, kemampuan (capacity). Tanpa kemampuan, seseorang tidak dapat mempengaruhi masa depannya. Kemampuan disini meliputi kemampuan fisik, mental dan spiritual.
·         Kedua, Kebersamaan (equity) atau keadilan sosial. Pembangunan berarti pemerataan, laju pertumbuhan suatu bangsa, jika kemajuan tidak merata  maka hal itu sia-sia belaka.
·         Ketiga, kekuasaan (Empowerment), kelemahan atau ketidakberdayaan. Ketidakberdayaan (powerless) merupakan kondisi manusia yang fatal. Terutama dalam konteks politis. Empowerment berarti pemberian kesempatan kepada masyarkaat untuk secara bebas memilih berbagai alternatif sesuai dengan tingkat kesadaran, kemampuan dan keinginan mereka, dan memberi mereka kesempatan untuk belajar, baik dari keberhasilan maupun kegagalan mereka dalam memberi respons terhadap perubahan.
·         Keempat, ketahanan atau kemandirian (sustainable), implikasi ini mengandung arti yang luas, karena faktor-faktor pembangunan terbatas adanya, sementara tuntutan kebutuhan semakin meningkat, maka sumber-sumber yang ada haruslah dapat dikelola sedemikian rupa sehingga pada suatu saat masyarakat yang bersangkutan mampu berkembang secara mandiri dan sanggup merebut sukses berikut.
·         Kelima, kesalingtergantungan (interdepedance), interdepedensi itu sangat menguntungkan jika masyarakat telah memiliki ketahanan dan kemandirian.
Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya pembangunan masyarakat yang lebih tajam, terencana dan sistematis dalam menempatkan masyarakat sebagai subjek yang benar-benar berperan dan memiliki harkat dan martabat sebagai manusia. Ide dan gagasan yang menempatkan manusia atau masyarakat lebih sebagai subjek dari dunianya sendiri yang mendasari lahirnya pendekatan pemberdayaan masyarakat.[5]
B.     Dimensi dan Indikator Dakwah dan Pemberdayan Masyarakat Islam
Dengan tidak mengurangi makna pemberdayaan masyarakat yang sebenarnya, disini akan mempergunakan defenisi pemberdayaan masyarakat yang dikemukakan oleh Bryan dan White bahwa pemberdayaan hendaklah dipahami sebagai suatu proses meningkatkan kemampuan masyarakat sehingga mereka dapat memecahkan masalahnya sendiri dengan cara memberrikan kepada mereka kepercayaan untuk mengelola program-program tertentu atas keputusannya sendiri.[6]
Defenisi pemberdayaan yang dikemukakan oleh Bryan dan White tersebut mengandung beberrapa defenisi dalam pemberdayan masyarakat, yaitu:
1.      Proses meningkatkan kemampuan masyarakat
2.      Pemecahan masalah
3.      Memberikan kepercayaan
4.      Pengelolaan program,
5.      Membuat keputusan sendiri yang secara tajam akan dijelaskna unsur-unsurnya, ciri-cirinya dan sifat-sifatnya sehingga menjadi jelas sebagai sebuah variabel.
Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu fenomena sosial yang merupakan kejadian konkrit dan dapat diindra atau diamati, kemampuan masyarakat harus dan mutlak perlu ditingkatkan, karena sumberdaya manusia merupakan energi yang sangat istimewa.
Kemampuan menurut Robbins adalah kapasitas ndividu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan.[7] Seluruh kemampuan seseorang pada hakikatnya tersusun dari dua perangkat faktor, yaitu kemampuan intelektual dan kemampuan fisik. Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang diperlukan untuk melakukan kegiatan mental, sedangkan kemampuan fisik adalah kemampuan yang diperlukan untuk melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan, dan keterampilan serupa.
Diharapkan, dengan meningkatnya kemampuan masyarakat baik secara intelektual dan fisik, maka masyarakat akan memberikan kontribusi secara maksimal terhadap penyelengaraan pemerintahan di daerah. Kemampuan intelektual hanya akan dapat dicapai apabila pemerintah secara serius memperhatikan masalah pendidikan, baik pendidikan formal, informal dan nonformal. Selanjutnya peningkatan kemampuan secara fisik hanya akan dapat dicapai apabila pemerintah secara serius memperhatikan kesehatan masyarakat dan kesehatan lingkungannya. Dimensi kehidupan masyarakat bertalian erat dengan partisipasi masyarakat. Kesediaan masyarakat untuk berpartisipasi merupakan tanda adanya kemampuan masyarakat untuk berkembang secara mandiri.
Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Mubyarto bahwa kemampuan masyarakat untuk berkembang secara mandiri berkorelasi positif dengan kemampuannya berpartisipasi dan juga kemampuannya untuk meningkatkan taraf hidup sendiri.[8] Konsep ini memberikan kejelasan bahwa hanya pada masyarakat yang memiliki kemampuan, partisipasi itu dapat diwujudkan, Sehingga antara kemampuan masyarakat dan partisipasi masyarakat ibarat dua sisi mata uang, tidak dapat dipisahkan tetapi dapat dan perlu dibedakan.
Demikian halnya Tilaar bahwa suatu masyarakat yang berpartisipasi adalah masyarakat yang mengetahui potensi dan kemampuannya termasuk hambatan-hambatan karena keterbatasannya.[9] Masyarakat yang mampu berdiri sendiri adalah masyarakat yang mengetahui arah hidup dan perkembangannya termasuk kemampuannya untuk berkomunikasi dan bekerja sama dengan masyarakat lainnya bahkan pada tingkat regional maupun internasional.
Menjadi jelas bahwa partisipasi masyarakat itu sangat ditentukan oleh kemampuan masyarakat itu sendiri. Semakin tinggi tingkat keamampuan pemahaman akan sesuatu yang diketahui masyarakat, maka diharapkan akan semakin tinggi pula partisispasi masyarakat yang besangkutandalam setiap kegiatan , program ataupun proyek yang dilaksanakan dimana masyarakat itu berada.
Menurut Soewardi bahwa secara analitik, kemampuan untuk mengetahui itu dapat diuraikan sebagai berikut:
1)      Kemampuan kognitif, ialah kemampuan untuk mengetahui (dalam arti kata yang lebih dalam berupa mengerti, memahami dan menghayati) dan mengingat apa yang diketahui itu Landasan kognitif adalah rasio atau akal.
2)      Kemampuan afektif, ialah kemampuan untuk merasakan tentang yang diketahuinya itu, ialah rasa cinta (love) dan rasa indah (beauty).
3)      Kemampuan konatif, ialah kemampuan untuk mencapai apa yang dirasakan itu. Konasi adalah will atau karsa (keamuan, keinginan atau hasrat) ialah daya dorong untuk mencapai (atau menjauhi) segala apa yang didiktekan oleh rasa. Rasa-lah yang memutuskan apakah sesuatu itu dicintai atau dibenci, dinyatakan indah atau buruk dan menjadi sifat manusia untuk menginginkan/ mendekai yang dicintainya dan dinyatakan indah, dan sebaliknya untuk membuang/menjauhi yang dibencinya dan dinyatakan buruk. Jadi kekuatan manusia untuk bergerak mendekati/menjauhi disebut kemampuan konatif.[10]
Kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan desa menurut Ndraha bahwa kemampuan masyarakat untuk berkembang secara mandiri dapat ditumbuhkan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi partisipasi masyarakat dalam pembangunan desanya.[11]
Selanjutnya menurut Ndraha bahwa kemampuan untuk melaksanakan tugas adalah kemampuan untuk mencapai keluaran yang telah ditetapkan atau hasil yang hendak dicapai. Kemampuan ini meliputi kemampuan untuk melaksanakan rencana tersebut. Dalam kemampuan untuk merencanakan usaha tersebut termasuk kemampuan untuk menggali, menggerakkan danmengkombinasikan masukan-masukan dari lingkungan dan menyiapkannya bagi sistem pelaksanaan tugas.[12]
Apabila kemampuan masyarakat meningkat sebagaimana dikemukakan itu, maka diharapkan masyarakat akan dapat memecahkan masalahnya sendiri. Permasalahan yang dihadapi masyarakat sangat beragam yang menyangkut permasalahan pendidikan, kesehatan, pendapatan, meningkat ke permasalahan sosial, budaya, politik, ekonomi dan sebagainya.
Menurut Kuper bahwa pemacahan masalah (problem solving) adalah fungsi utama dari pikiran yang telah lama diteliti oleh psikologi kognitif. Secara umum, pikiran kemudian dianggap sebagai rangkaian proses manipulasi simbol yang menggunakan ingatan yang bekerja sangat terbatas, dan didukung oleh ingatan jangka panjang yang ekstensif.[13]
Masalah atau permasalahan pada dasranya merupakan kesenjangan antara harapan-harapan masyarakat dengan kenyataan yang ada. Harapan-harapan masyarakat juga bersifat kondisional, antara kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain memilki harapan–harapan yang berbeda-beda. Namun, secara umum dapat digambarkan bahwa harapan masyarakat adalah mendambakan suatu kehidupan yang menempatkan mereka sebagai manusia yang memiliki martabat yang perlu dihargai dan diberikan peranan dalam kehidupan sosial.
Permasalahan masyarakat adalah permasalahan sosial, yang menurut Kuper bahwa permasalahan sosial addalah sebagai kondisi yang tidak diinginkan, tidak adil, berbahaya, ofensif, dan dalam pengertian tertentu mengancam kehidupan masyarakat.[14] Dengan konsep permasalahan sosial yang dikemukakan itu, menunjukkan bahwa permasalahan masyarakat pada intinya adalah mengancam kehidupan masyarakat itu sendiri, sehingga tidaklah beralasan sekiranya permasalahan itu diintervensi secara jauh oleh pemerintah dan  mengabaikan keterlibatan masyarakat yang memahami maslaahnya sendiri.
Sekiranya, permasalahan masyarakat itu dikembalikan kepada masyarakat itu sendiri, dimana masyarakat terlebih dahulu dibekali kemampuan yang memadai (baik intelektualnya maupun fisiknya) maka dapat dipastikan mayarakat itu sendiri dapat memecahkan persoalan yang dihadapinya.
Dimensi berikutnya yang memegang peranan kunci dalam pemberdayaan masyarakat adalah memberikan kepercayaan masyarakat atau dalam istilah manajemen dan organisasi disebut “delegation of authority” yang menurut Saefullah diartikan sebagai pendelegasian wewenang kepada bawahan dan yang diberrikan wewenang mempunyai kemampuan untuk melaksanakannya. Konsekuensi ini adalah pihak yang diberi pelimpahan wewenang akan berusaha sekuat tenaga untuk memperlihatkan kemampuannya  serta keberaniannya untuk mengambil inisiatif dan mengembangkan kreatifitasnya. Secara psikologis, ia mempunyai rasa percaya diri dan keberanian untuk bersikap.[15]
Kepercayaan yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat akan dapat menggali potensi-potensi, inisiatif dan kreatifitas sehingga masyarakat dapat memberikan sikap dan tindakannya (perilaku) yang sesuai dengan latarbelakang histori kehidupan masyarakat tersebut. Dalam kehidupan masyarakat yang latar belakang historisnya penuh dengan dinamika perjuangan akan menerima kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dengan sikap kritis. Sebaliknya pada kehidupan masyarakat yang latar belakang hitorisnya bersifat feodalistik akan menerima setiap kebijakan pemerintah sebagai suatu keharusan yang tidak bisa ditolak. Apabila masyarakat telah memperoleh kepercayaan, maka mereka akan mengelola program berdasarkan kreatifitas , inisiatif dan inovasi yang mereka miliki.
Dengan demikian, apabila masyarakat telah memiliki kemampuan, dapat memecahkan masalahnya sendiri, telah mendapat kepercayaan dari pemerintah dalam mengelola berbagai program kegiatan, maka dapat dipastikan masyarakat tersebut sudah dapat mengambil keputusan sendiri sesuai keinginan dan kebutuhan serta berbagai permasalahan yang dihadapinya tanpa terus bergantung kepada pemerintah.
Menurut Hardjito bahwa pemecahan masalah dan pengambilan keputusan merupakan kejadian yang dialami oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari. Dalam manajemen modern, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan menjadi semakin penting dan merupakan kebutuhan mutlak bagi seseorang atau masyarakat. Menguasai kemampuan memecahkan masalah dan pengambilan keputusan dibutuhkan suatu pola pikir tertentu dan teknik-teknik yang merupakan prasyarat yang harus dipahami. Selain itu juga, dituntut kemampuan analisis yang tangguh, karena salah dalam mengambil keputusan akan berakibat fatal bagi keberhasilan organisasi.[16]
Dalam mengambil keputusan, diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang benar tentang suatu masalah. Dalam kegiatan penemuan masalah mengacu kepada proses pengidentifikasian masalah untuk dapat masalahnya secara jelas, sebelum melangkah kepada cara pemecahannya. Dalam kegiatan penemuan masalah tersebut akan menyangkut penentuan keberadaannya dan pentingnya masalah. Kegiatan pemecahan masalah dimulai dari pendiagnosaan masalah untuk menemukan sebab sebenarnya. Kegiatan ini dilanjutkan dengan membuat alternatif pemecahan masalah. Setelah alternatif pemecahan masalah dilakukan, dilanjutkan dengan melakukan evaluasi dan pemilihan alternatif. Kegiatan ini dilanjutkan dengan pengambillan keputusan. Pengambilan keputusan merupakan pengambilan keputusan formal, yakni bagaimana masyarakat secara sistematik mengusahakan tercapainya keputusan yang sehat dan masuk akal yang dapat dikatakan sebagai keputusan yang mantap.






BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Pada hakikatnya, dakwah dan pemberdayaan masyarkat Islam adalah upaya pembangunan masyarakat yang lebih tajam, terencana dan sistematis dalam menempatkan masyarakat sebagai subjek yang benar-benar berperan dan memiliki harkat dan martabat sebagai manusia. Ide dan gagasan yang menempatkan manusia atau masyarakat lebih sebagai subjek dari dunianya sendiri yang mendasari lahirnya pendekatan pemberdayaan masyarakat.
Berikut ini dimensi dan indikator dalam dakwah dan pengembangan masyarakat Islam:
1.      Proses meningkatkan kemampuan masyarakat
2.      Pemecahan masalah
3.      Memberikan kepercayaan
4.      Pengelolaan program,
5.      Membuat keputusan sendiri
















DAFTAR PUSTAKA
Talizul Ndraha, Budaya Organisasi, Jakarta Rineka Cipta, 2003)
Yusuf Suit dan Almasdi, Aspek Sikap Mental dalam Manajemen Sumberdaya Manusia, Jakarta: Galia, 1995
Ginanjar Kartasasmita, Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, Jakarta: Cides, 1996
Moeljarto Tcokrowinoto, Pembangunan: Dilema dan Tantangan, Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996
 Ndraha, Pembangunan Masyarakat: Mempersiapkan masyarakat Tinggal landas, Jakarta: Bina Aksara, 1987
A. Bryant dan LG. White, Manajemen Untuk Pembangunan Negara Berkembang, Jakarta: LP3ES, 1989
[1] Robbins, Stephan P, Perilaku Organisasi, Jakarta: Penerbit Indeks Kelompok Gramedia, 2001
Mubyato, Strategi Pembangunan Pedesaan, Yogyakarta: P3PK UGM, 1984
Tilaar, H.A.R, Pengembangan Sumberdaya Manusia dalam Era Globalisasi, Jakarta: Grasindo, 1997
Herman Soewardi, Roda Berputar Dunia Bergulir, Kognisi baru tentang Timbul-Tenggelamnya Sivilisasi, Bandung: Bakti Mandiri, 1999

Kuper, A., Dan Jesica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta: Penerbit PT. Rajawali Press, 2000
Saifullah Ftah, Pengantar Manajemen Keuangan, Edisi Pertama, Jakarta: Kencana, 2002
Dydiet Hardjito, Teori Organisasi dan Teknik Pengorganisasian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997



[1] Talizul Ndraha, Budaya Organisasi, (Jakarta Rineka Cipta, 2003), hal. 184
[2] Yusuf Suit dan Almasdi, Aspek Sikap Mental dalam Manajemen Sumberdaya Manusia, (Jakarta: Galia, 1995), hal. 32
[3] Ginanjar Kartasasmita, Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, (Jakarta: Cides, 1996), hal. 135
[4] Moeljarto Tcokrowinoto, Pembangunan: Dilema dan Tantangan, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 95
[5] Talidzuhu Ndraha, Pembangunan Masyarakat: Mempersiapkan masyarakat Tinggal landas, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal. 35
[6] A. Bryant dan LG. White, Manajemen Untuk Pembangunan Negara Berkembang, (Jakarta: LP3ES, 1989), Hal. 25
[7] Robbins, Stephan P, Perilaku Organisasi, (Jakarta: Penerbit Indeks Kelompok Gramedia, 2001), hal. 46
[8] Mubyato, Strategi Pembangunan Pedesaan, (Yogyakarta: P3PK UGM, 1984), Hal. 36
[9] Tilaar, H.A.R, Pengembangan Sumberdaya Manusia dalam Era Globalisasi, (Jakarta: Grasindo, 1997), hal. 238
[10] Herman Soewardi, Roda Berputar Dunia Bergulir, Kognisi baru tentang Timbul-Tenggelamnya Sivilisasi, (Bandung: Bakti Mandiri, 1999), hal. 246
[11] Talidzuhu Ndraha, Op.Cit, hal. 107
[12] Ibid., hal. 113
[13] Kuper, A., Dan Jesica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, (Jakarta: Penerbit PT. Rajawali Press, 2000), hal. 839
[14] Kuper, A. Dan Jessica Kuper, Op.Cit., hal. 993
[15] Saifullah Ftah, Pengantar Manajemen Keuangan, Edisi Pertama, (Jakarta: Kencana, 2002), hal 6-7
[16] Dydiet Hardjito, Teori Organisasi dan Teknik Pengorganisasian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 94-96