KONSEP, DIMENSI DAN INDIKATOR DAKWAH DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT ISLAM
MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI
TUGAS MATA KULIAH DESAIN DAN SKENARIO PMI
OLEH :
MAYA INDAH LESTARI
NIM. 14 303 00011
DOSEN
PEMBIMBING :
Zilfaroni, S.Sos. I M.A
JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM SEMESTER VII
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PADANGSIDIMPUAN
TAHUN AKADEMIK 2017/2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat
Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, dan karunianya sehingga
makalah ini berhasil diselesaikan dengan judul “KONSEP, DIMENSI DAN INDIKATOR DAKWAH DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT ISLAM"
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas makalh kuliah Desain Skenario PMI. Diharapkan makalah ini bermanfaat untuk kita
semua dalam menambah pemahaman dan pengaplikasian kita mengenai Desain Skenario
PMI.
Saya
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, sebab kita sebagai
manusia biasa biasa yang tak luput dari kekasalahan. Pepatah mengatakan,” Tak ada gading yang tak retak” oleh karena
itu, saya mengharapkan kritik maupun saran yang bersifat membangun untuk
menyempurnakan makalah ini.
Akhir kata saya ucapkan
terimakasih, semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kedepannya.
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................ i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Konsep Dakwah dan Pemberdayaan Masyarakat Islam .........................................................2
B. Dimensi dan Indikator Dakwah dan Pemberdayan Masyarakat Islam......................................7
BAB III PENUTUP................................................................................................................ 13
Kesimpulan.............................................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................14
BAB
I
PENDAHULUAN
Setelah
mengetahui pengertian dan arah serta tujuan Dakwah dan pemberdayaan Masyarkat
Islam, maka yang selanjutnya perlu untuk dipelajari adalah bagaiamana konsep,
dimensi dan indikator dakwah dan Pemberdayaan Masyarakat Islam. Konsep merupakan
rancangan, ide aatau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret.
Dengan memahami konsep kita akan lebih mudah melihat arah dan tujuan Dakwah dan
Pemberdayaan Masyarakat Islam. Sedangkan dimensi dan indikator adalah ukuran
dan petunjuk pelaksanaan Dakwah dan Pemberdayaan Masyarakat tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Dakwah dan Pemberdayaan Masyarakat Islam
Istilah pemberdayaan atau empowerment menjadi sebuah istilah
yang pernah populer di tengah-tengah masyarakat Indonesia terutama pada saat
terjadinya krisis moneter yang bersifat multidimensi. Kata “pemberdayaan”
sering dirangkaikan dengan kata lain seperti kata organisasi, birokrasi, dan
kata-kata lain tidak ketinggalan pula kata masyarakat.
Banyak oang memaknai istilah pemberdayaan dari satu sudut pandang
sesuai dengan kepentingannya. Namun istilah pemberdayaan sebenarnya memiliki
aspek yang sangat luas sehingga menjelaskan istilah pemberdayaan harus digunakan
berbagai konsep dan teori dari berbagai pakar yang memang ahli dibidangnya.
Oleh karena itu menjelaskan istilah pemberdayaan masyarakat dari sudut pandang
teoritis diperlukan suatu ketajaman analisa sehingga istilah pemberdayaan
masyarakat dapat dikonkritkan menjadi suatu konsep yang diukur dan dapat pula
dilihat dari berbagai macam indikatornya sehingga istilah pemberdayaan
masyarakat menjadi suatu istilah yang dapat digambarkan secara jelas.
Ide pemikiran tentang bahasan pemberrdayaan masyarakat berangkat
pada keberadaan manusia sebagai sebuah sumber daya. Aspek dari sumberr daya
manusia yaitu pertama sumber daya dan manusia. Sumber daya bermakna sebagai
kekayaan suatu bangsa yang menjadi modal bagi kejayaan masa depan. Sedangkan
nilai sumberdaya sebagai kekuatan pengikat, penggerak atau pola perilaku suatu masyarakat
menjadi sebuah bangsa yang harus terus menerus dipelihara.[1]
Kemudian makna manusia adalah makhluk Tuhan yang diciptakan memiliki kemampuan
berfikir yang sangat tinggi, bakat serta naluri untuk meningkatkan kualitas
hidupnya dibandingkan dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya.
Sumber daya manusia adalah sebagai kekuatan daya pikir dan berkarya
manusia yang masih tersimpan dalam dirinya yang perlu dibina dan digali serta
dikembangkan untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan hidup
manusia.[2]
Dengan demikian suber daya mnusia harus selalu dikembangkan menuju kepada
kehidupan manusia yang berkualitas yang diharapkan sesuai dengan taraf perkembangan
zaman dimana manusia itu hidup.
Realitas yang terjadi di Indonesia, bahwa untuk meningkatkan kualitas
hidup manusia dilakukan berbagai kegiatan yang selalu diberikan label yaitu
“Pembangunan”. Akan tetapi aspek pembangunan yang dilakukan lebih kepada
pembangunan yang bersifat ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan derajat
kehidupan manusia dari sisi materil, jasmani dan untuk memenuhi kebutuhan hidup
dengan standar ukur ekonomi belaka. Asumsi-asumsi pertumbuhan dan pemerataan menjadi
suatu pendekatan pembangunan ekonomi
yang dijalankan tanpa melihat dari sisi lain seperti aspek sosial budaya
dan ketersediaan sumber daya manusia yang dimiliki. Akibatnya ketidakmerataan
terjadi antar masyarakat, antar daerah, bahkan terjadi sebuah kawasan yang
menimbulkan dua kutub yang berbeda misalnya kutub barat dan kutub timur, Jawa
dan luar Jawa. Perbedaan-perrbedaan yang terjadi membawa kepada implikasi yang
sangat serius dan perlu mendapat perhatian dari pemerintah sebagai desainer dan
pemrakarsa pemabangunan itu sendiri.
Tidak seimbangnya pembangunan ekkonomi disatu sisi dengan
pembangunan ekonomi disisi yang lain harus diakui telah meningkatkan
pertumbuhan dan kemajuan, tetapi berdampak pada tidak meratanya distribusi
pendapatan, melajunya kesenjangan, perbedaan antara yang kaya dan yang miskin,
anatara ekonomi kuat dan eknomi lemah, dan juga kesenjangan antar daerah.
Permasalahan utama sehingga terjadinya kesenjangan itu oleh karena
dalam kurun waktu yang cukup lama orientasi pembangunan lebih menitik beratkan
pada pembangunan ekonomi dan mengabaikan pembangunan yang lainnya. Oleh
karenanya, pembangunan tidak hanya melihat dari kontribusi pemikiran ahli-ali
ekonomi semata, tetapi pemikiran-pemikiran para pakar dari berbagai disiplin
ilmu lainnya perlu diperhatikan dalam perumusan dan pengambilan keputusan,
sehingga kata-kata kunci dalam ukuran sosial ekonomi masyarakat seperti:
kualitas manusia, kualitas masyarakat, ukuran maju, ukuran mandiri, susasana
tenteram, dan sejahtera lahir batin menjadi jelas, baik bagi masyrakat dan juga
terlebih bagi pemerintah dalam memacu pembangunan sosial ekonomi.
Kenyataan-kenyataan empirik membuktikan bahwa kesejahteraan ekonomi
tidak dapat menjamin kesejahteraan sosial, namun kondisi sosial dan budaya yang
baik akan memberikan situasi ekonomi yang baik.
Kenaikan pendapatan nasional tidak membawa kenaikan kesejahteraan
sosial, jika kenaikan pendapatan itu kurang dibarengi denan penyesuaian budaya.
Wawasan sosial budaya masyarakat haruslah diubah jikalau pembangunan diharapkan
dapat berjalan. Manakala terdapat hambatan sosial yang menghalangi kemajuan
ekonomi, hambatan tersebut harus disingkirkan atau disesuaikan. Organisasi
sosial seperti keluarga bersama, sistem kasta, warna kulit, dogma agama dan
kehidupan desa harus dimodifikasi sehinga selaras dengan pembangunan. Setiap perubahan
budaya atau sosial biasanya membawa ketidakpuasan dan perlawanan dibelakangnya,
yang karena itu dapat berpengaruh buruk kepada perekonomian. Karena
kesejahteraan ekonomi merupakan sebagian saja dari kesejahteraan sosial pada
umumnya, maka yang terakhir inilah yang harus mendapat perhatian utama.
Dimensi manusia dan kemanusiaan merupakan faktor yang paling
menentukan situasi dan kondisi yang harmonis dalam sitem kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa. Paradigma pertumbuhan sosial dan ekonomi ditinjau
dari konsep pembangunan “growth paradigm” menimbulkan kelompok negara
maju dan negara berkembang. Untuk mengejar ketinggalan sosial ekonominya,
negara-negara berkembang menerapkan konsep paradigma pertumbuhan yang ditandai
oleh meningkatnya pertumbuhan pendapatan nasional (gross national product).
Peningkatan gross national product ternyata tidak menjamin
meratanya distribusi pendapatan nasioanal dan harapan “trickle down effect”
bahkan belum berhasil mengatasi dan menghapus kemiskinan, pengangguran,
ketimpangan, ketidakberdayaan (powerlessness), kerapuhan (vulnerability),
kelemahan fisik (weakness), dan keterasingan (isolation).
Konsep ini menurut Kartasasmita bahwa yang terjadi di banyak negara
berkembang, pembangunan justru mengakibatkan kesenjangan ekonomi yang melebar.
Hal ini disebabkan oleh karena meskipun pendapatan dan konsumsi makin
meningkat, kelompok masyarakat yang sudah baik keadaanya dan lebih mampu, lebih
dapat memanfaatkan kesempatan, antara lain karena posisinya yang menguntungan (privileged)
sehingga akan memperoleh semua atau sebagian besar hasil pembangunan. Dengan
demikian, yang kaya makin kaya dan yang miskin tetap miskin bahkan dapat
menjadi lebih miskin.[3]
Pandangan dan pemikiran Kartasasmita itu, persoalan mendasarnya adalah
pertumbuhan ekonomi yang begitu cepat tidak diimbangi oleh kemajuan masyarakat
di bidang sosial dan bidang budaya sehingga kecenderungan sosial yang terjadi
adalah harkat dan martabat manusia terabaikan, kepercayaan masyarakat terhadap
diri mereka sendiri rendah serta wawasan transformasi sosial yang terus
melemah.
Konteks ini menurut Tjokrowinoto bahwa manifestasi dampak sosial
dari pembangunan ekonomi amat bervariasi, antara lain terrjadinya konsentrasi
dan marginalisasi kekayaan dan kekuasaan, terjadinya proses unidimensionalisasi
manuisa yang cenderung memandang manusia sebagai salah satu faktor produksi
semata-mata, timbulnya depedensi masyarakat yang terlalu besar, baik pada
birokrasi maupun proyek, ketidakberdayaan masyarakat menjadi delivered
development, disparitas struktural maupun regional dan sebagainya.[4]
Argumentasi diatas dapat dikemukakan bahwa ada kecenderungan awal
di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, dimana dimensi pembanguunan
ekonomi dan dimensi pembangunan politik menduduki posisi sentral dalam
pembangunan nasional. Kedua dimensi itu telah memarjinalkan potensi manusia
yang memiliki nilai-nilai yang harus dihargai, baik kapasitasnya sebagai
individu maupun makhluk sosial. Ketidakarifan ini telah menimbulkan
dampak-dampak yang kurang menguntungkan secara sosial sebagaiman yang dapat
disaksikan saat ini.
Argumentasi tentang pentingnya aspek-aspek sosial dari pada aspek
ekonomi dikemukakan oleh Rachbini bahwa pengakuan sosial dan hubungan-hubungan
kekerabatan yang sangat erat mengalahkan hubungan-hubungan lainnya yang
bersifat ekonomistik. Karena itu kebutuhan akan kebanggan sosial dinilai lebih
menonjol dibanding kepentingan ekonomi. Dengan kata lain, motif moral dan
tindakan sosial menjadi dasar paling tepat untuk mengarahkan
keputusan-keputusan yang diambil. Soal-soal yang berkaitan dengan masalah
ekonomi dianggap sebagai persoalan sekunder, yang tidak lebih diutamakan.
Konstruksi tersebut sangat beralasan jika kita melihat suatu
keadaan masyarakat yang secara ekonomi cukup bahkan berlebihan, tetapi
kehidupan mereka penuh dengan kecemasan, kegelisahan dan tidak memiliki
kehidupan yang tenteram dan aman. Suasana kehidupan yang sarat dengan
ketidakharmonisan ini ditandai oleh padangan keseharian yang dapat dilihat
seperti: penyebaran isu dan fitnah antar sesama, unjuk rasa dan demonstrasi
yang tidak manusiawi dan beragam fenomena atu gejala-gejala sosial yang kurang
baik.
Tindakan-tindakan yang memungkinkan masyarakat atau unit sosial
untuk meningkatkan kemampuannya mengubah masa depan mereka yang dilakukan atas pilihan
mereka sendiri merupakan upaya-upaya yang sangat positif agar mereka dapat
berdaya. Oleh karena itu, konsep pembangunan pada dasarnya sebagai upaya
peningkatan kemampuan masyarakat untuk mengendalikan masa depan.
Pembangunan sebagai peningkatan kemampuan untuk mengendalikan masa
depan mengandung beberapa implikasi, diantaranya:
·
Pertama,
kemampuan (capacity). Tanpa kemampuan, seseorang tidak dapat
mempengaruhi masa depannya. Kemampuan disini meliputi kemampuan fisik, mental
dan spiritual.
·
Kedua,
Kebersamaan (equity) atau keadilan sosial. Pembangunan berarti pemerataan,
laju pertumbuhan suatu bangsa, jika kemajuan tidak merata maka hal itu sia-sia belaka.
·
Ketiga,
kekuasaan (Empowerment), kelemahan atau ketidakberdayaan.
Ketidakberdayaan (powerless) merupakan kondisi manusia yang fatal. Terutama
dalam konteks politis. Empowerment berarti pemberian kesempatan kepada
masyarkaat untuk secara bebas memilih berbagai alternatif sesuai dengan tingkat
kesadaran, kemampuan dan keinginan mereka, dan memberi mereka kesempatan untuk
belajar, baik dari keberhasilan maupun kegagalan mereka dalam memberi respons
terhadap perubahan.
·
Keempat,
ketahanan atau kemandirian (sustainable), implikasi ini mengandung arti
yang luas, karena faktor-faktor pembangunan terbatas adanya, sementara tuntutan
kebutuhan semakin meningkat, maka sumber-sumber yang ada haruslah dapat
dikelola sedemikian rupa sehingga pada suatu saat masyarakat yang bersangkutan
mampu berkembang secara mandiri dan sanggup merebut sukses berikut.
·
Kelima,
kesalingtergantungan (interdepedance), interdepedensi itu sangat
menguntungkan jika masyarakat telah memiliki ketahanan dan kemandirian.
Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya pembangunan masyarakat yang
lebih tajam, terencana dan sistematis dalam menempatkan masyarakat sebagai
subjek yang benar-benar berperan dan memiliki harkat dan martabat sebagai
manusia. Ide dan gagasan yang menempatkan manusia atau masyarakat lebih sebagai
subjek dari dunianya sendiri yang mendasari lahirnya pendekatan pemberdayaan
masyarakat.[5]
B.
Dimensi dan Indikator Dakwah dan Pemberdayan Masyarakat Islam
Dengan
tidak mengurangi makna pemberdayaan masyarakat yang sebenarnya, disini akan
mempergunakan defenisi pemberdayaan masyarakat yang dikemukakan oleh Bryan dan
White bahwa pemberdayaan hendaklah dipahami sebagai suatu proses meningkatkan
kemampuan masyarakat sehingga mereka dapat memecahkan masalahnya sendiri dengan
cara memberrikan kepada mereka kepercayaan untuk mengelola program-program
tertentu atas keputusannya sendiri.[6]
Defenisi
pemberdayaan yang dikemukakan oleh Bryan dan White tersebut mengandung
beberrapa defenisi dalam pemberdayan masyarakat, yaitu:
1.
Proses
meningkatkan kemampuan masyarakat
2.
Pemecahan
masalah
3.
Memberikan
kepercayaan
4.
Pengelolaan
program,
5.
Membuat
keputusan sendiri yang secara tajam akan dijelaskna unsur-unsurnya,
ciri-cirinya dan sifat-sifatnya sehingga menjadi jelas sebagai sebuah variabel.
Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu fenomena sosial yang
merupakan kejadian konkrit dan dapat diindra atau diamati, kemampuan masyarakat
harus dan mutlak perlu ditingkatkan, karena sumberdaya manusia merupakan energi
yang sangat istimewa.
Kemampuan menurut Robbins adalah kapasitas ndividu untuk
mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan.[7]
Seluruh kemampuan seseorang pada hakikatnya tersusun dari dua perangkat faktor,
yaitu kemampuan intelektual dan kemampuan fisik. Kemampuan intelektual adalah
kemampuan yang diperlukan untuk melakukan kegiatan mental, sedangkan kemampuan
fisik adalah kemampuan yang diperlukan untuk melakukan tugas-tugas yang
menuntut stamina, kecekatan, kekuatan, dan keterampilan serupa.
Diharapkan, dengan meningkatnya kemampuan masyarakat baik secara
intelektual dan fisik, maka masyarakat akan memberikan kontribusi secara maksimal
terhadap penyelengaraan pemerintahan di daerah. Kemampuan intelektual hanya
akan dapat dicapai apabila pemerintah secara serius memperhatikan masalah
pendidikan, baik pendidikan formal, informal dan nonformal. Selanjutnya
peningkatan kemampuan secara fisik hanya akan dapat dicapai apabila pemerintah
secara serius memperhatikan kesehatan masyarakat dan kesehatan lingkungannya.
Dimensi kehidupan masyarakat bertalian erat dengan partisipasi masyarakat.
Kesediaan masyarakat untuk berpartisipasi merupakan tanda adanya kemampuan
masyarakat untuk berkembang secara mandiri.
Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Mubyarto bahwa kemampuan masyarakat
untuk berkembang secara mandiri berkorelasi positif dengan kemampuannya berpartisipasi
dan juga kemampuannya untuk meningkatkan taraf hidup sendiri.[8]
Konsep ini memberikan kejelasan bahwa hanya pada masyarakat yang memiliki
kemampuan, partisipasi itu dapat diwujudkan, Sehingga antara kemampuan
masyarakat dan partisipasi masyarakat ibarat dua sisi mata uang, tidak dapat
dipisahkan tetapi dapat dan perlu dibedakan.
Demikian halnya Tilaar bahwa suatu masyarakat yang berpartisipasi
adalah masyarakat yang mengetahui potensi dan kemampuannya termasuk
hambatan-hambatan karena keterbatasannya.[9]
Masyarakat yang mampu berdiri sendiri adalah masyarakat yang mengetahui arah
hidup dan perkembangannya termasuk kemampuannya untuk berkomunikasi dan bekerja
sama dengan masyarakat lainnya bahkan pada tingkat regional maupun
internasional.
Menjadi jelas bahwa partisipasi masyarakat itu sangat ditentukan
oleh kemampuan masyarakat itu sendiri. Semakin tinggi tingkat keamampuan
pemahaman akan sesuatu yang diketahui masyarakat, maka diharapkan akan semakin
tinggi pula partisispasi masyarakat yang besangkutandalam setiap kegiatan ,
program ataupun proyek yang dilaksanakan dimana masyarakat itu berada.
Menurut Soewardi bahwa secara analitik, kemampuan untuk mengetahui
itu dapat diuraikan sebagai berikut:
1)
Kemampuan
kognitif, ialah kemampuan untuk mengetahui (dalam arti kata yang lebih dalam
berupa mengerti, memahami dan menghayati) dan mengingat apa yang diketahui itu
Landasan kognitif adalah rasio atau akal.
2)
Kemampuan
afektif, ialah kemampuan untuk merasakan tentang yang diketahuinya itu, ialah
rasa cinta (love) dan rasa indah (beauty).
3)
Kemampuan
konatif, ialah kemampuan untuk mencapai apa yang dirasakan itu. Konasi adalah will
atau karsa (keamuan, keinginan atau hasrat) ialah daya dorong untuk
mencapai (atau menjauhi) segala apa yang didiktekan oleh rasa. Rasa-lah yang
memutuskan apakah sesuatu itu dicintai atau dibenci, dinyatakan indah atau
buruk dan menjadi sifat manusia untuk menginginkan/ mendekai yang dicintainya
dan dinyatakan indah, dan sebaliknya untuk membuang/menjauhi yang dibencinya
dan dinyatakan buruk. Jadi kekuatan manusia untuk bergerak mendekati/menjauhi
disebut kemampuan konatif.[10]
Kaitannya
dengan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan desa menurut Ndraha bahwa
kemampuan masyarakat untuk berkembang secara mandiri dapat ditumbuhkan melalui
intensifikasi dan ekstensifikasi partisipasi masyarakat dalam pembangunan
desanya.[11]
Selanjutnya
menurut Ndraha bahwa kemampuan untuk melaksanakan tugas adalah kemampuan untuk
mencapai keluaran yang telah ditetapkan atau hasil yang hendak dicapai.
Kemampuan ini meliputi kemampuan untuk melaksanakan rencana tersebut. Dalam
kemampuan untuk merencanakan usaha tersebut termasuk kemampuan untuk menggali,
menggerakkan danmengkombinasikan masukan-masukan dari lingkungan dan
menyiapkannya bagi sistem pelaksanaan tugas.[12]
Apabila
kemampuan masyarakat meningkat sebagaimana dikemukakan itu, maka diharapkan
masyarakat akan dapat memecahkan masalahnya sendiri. Permasalahan yang dihadapi
masyarakat sangat beragam yang menyangkut permasalahan pendidikan, kesehatan,
pendapatan, meningkat ke permasalahan sosial, budaya, politik, ekonomi dan
sebagainya.
Menurut Kuper
bahwa pemacahan masalah (problem solving) adalah fungsi utama dari
pikiran yang telah lama diteliti oleh psikologi kognitif. Secara umum, pikiran
kemudian dianggap sebagai rangkaian proses manipulasi simbol yang menggunakan
ingatan yang bekerja sangat terbatas, dan didukung oleh ingatan jangka panjang
yang ekstensif.[13]
Masalah atau
permasalahan pada dasranya merupakan kesenjangan antara harapan-harapan
masyarakat dengan kenyataan yang ada. Harapan-harapan masyarakat juga bersifat
kondisional, antara kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat
yang lain memilki harapan–harapan yang berbeda-beda. Namun, secara umum dapat
digambarkan bahwa harapan masyarakat adalah mendambakan suatu kehidupan yang
menempatkan mereka sebagai manusia yang memiliki martabat yang perlu dihargai
dan diberikan peranan dalam kehidupan sosial.
Permasalahan masyarakat
adalah permasalahan sosial, yang menurut Kuper bahwa permasalahan sosial
addalah sebagai kondisi yang tidak diinginkan, tidak adil, berbahaya, ofensif,
dan dalam pengertian tertentu mengancam kehidupan masyarakat.[14] Dengan
konsep permasalahan sosial yang dikemukakan itu, menunjukkan bahwa permasalahan
masyarakat pada intinya adalah mengancam kehidupan masyarakat itu sendiri,
sehingga tidaklah beralasan sekiranya permasalahan itu diintervensi secara jauh
oleh pemerintah dan mengabaikan
keterlibatan masyarakat yang memahami maslaahnya sendiri.
Sekiranya,
permasalahan masyarakat itu dikembalikan kepada masyarakat itu sendiri, dimana masyarakat
terlebih dahulu dibekali kemampuan yang memadai (baik intelektualnya maupun
fisiknya) maka dapat dipastikan mayarakat itu sendiri dapat memecahkan persoalan
yang dihadapinya.
Dimensi
berikutnya yang memegang peranan kunci dalam pemberdayaan masyarakat adalah
memberikan kepercayaan masyarakat atau dalam istilah manajemen dan organisasi
disebut “delegation of authority” yang menurut Saefullah diartikan
sebagai pendelegasian wewenang kepada bawahan dan yang diberrikan wewenang
mempunyai kemampuan untuk melaksanakannya. Konsekuensi ini adalah pihak yang
diberi pelimpahan wewenang akan berusaha sekuat tenaga untuk memperlihatkan
kemampuannya serta keberaniannya untuk
mengambil inisiatif dan mengembangkan kreatifitasnya. Secara psikologis, ia
mempunyai rasa percaya diri dan keberanian untuk bersikap.[15]
Kepercayaan
yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat akan dapat menggali
potensi-potensi, inisiatif dan kreatifitas sehingga masyarakat dapat memberikan
sikap dan tindakannya (perilaku) yang sesuai dengan latarbelakang histori
kehidupan masyarakat tersebut. Dalam kehidupan masyarakat yang latar belakang
historisnya penuh dengan dinamika perjuangan akan menerima kebijakan yang
dibuat oleh pemerintah dengan sikap kritis. Sebaliknya pada kehidupan
masyarakat yang latar belakang hitorisnya bersifat feodalistik akan menerima
setiap kebijakan pemerintah sebagai suatu keharusan yang tidak bisa ditolak.
Apabila masyarakat telah memperoleh kepercayaan, maka mereka akan mengelola
program berdasarkan kreatifitas , inisiatif dan inovasi yang mereka miliki.
Dengan
demikian, apabila masyarakat telah memiliki kemampuan, dapat memecahkan
masalahnya sendiri, telah mendapat kepercayaan dari pemerintah dalam mengelola
berbagai program kegiatan, maka dapat dipastikan masyarakat tersebut sudah
dapat mengambil keputusan sendiri sesuai keinginan dan kebutuhan serta berbagai
permasalahan yang dihadapinya tanpa terus bergantung kepada pemerintah.
Menurut
Hardjito bahwa pemecahan masalah dan pengambilan keputusan merupakan kejadian
yang dialami oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari. Dalam manajemen
modern, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan menjadi semakin penting dan
merupakan kebutuhan mutlak bagi seseorang atau masyarakat. Menguasai kemampuan
memecahkan masalah dan pengambilan keputusan dibutuhkan suatu pola pikir
tertentu dan teknik-teknik yang merupakan prasyarat yang harus dipahami. Selain
itu juga, dituntut kemampuan analisis yang tangguh, karena salah dalam
mengambil keputusan akan berakibat fatal bagi keberhasilan organisasi.[16]
Dalam mengambil
keputusan, diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang benar tentang suatu
masalah. Dalam kegiatan penemuan masalah mengacu kepada proses
pengidentifikasian masalah untuk dapat masalahnya secara jelas, sebelum
melangkah kepada cara pemecahannya. Dalam kegiatan penemuan masalah tersebut akan
menyangkut penentuan keberadaannya dan pentingnya masalah. Kegiatan pemecahan
masalah dimulai dari pendiagnosaan masalah untuk menemukan sebab sebenarnya. Kegiatan
ini dilanjutkan dengan membuat alternatif pemecahan masalah. Setelah alternatif
pemecahan masalah dilakukan, dilanjutkan dengan melakukan evaluasi dan
pemilihan alternatif. Kegiatan ini dilanjutkan dengan pengambillan keputusan.
Pengambilan keputusan merupakan pengambilan keputusan formal, yakni bagaimana
masyarakat secara sistematik mengusahakan tercapainya keputusan yang sehat dan
masuk akal yang dapat dikatakan sebagai keputusan yang mantap.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pada
hakikatnya, dakwah dan pemberdayaan masyarkat Islam adalah upaya pembangunan
masyarakat yang lebih tajam, terencana dan sistematis dalam menempatkan
masyarakat sebagai subjek yang benar-benar berperan dan memiliki harkat dan
martabat sebagai manusia. Ide dan gagasan yang menempatkan manusia atau
masyarakat lebih sebagai subjek dari dunianya sendiri yang mendasari lahirnya
pendekatan pemberdayaan masyarakat.
Berikut
ini dimensi dan indikator dalam dakwah dan pengembangan masyarakat Islam:
1.
Proses
meningkatkan kemampuan masyarakat
2.
Pemecahan
masalah
3.
Memberikan
kepercayaan
4.
Pengelolaan
program,
5.
Membuat
keputusan sendiri
DAFTAR PUSTAKA
Talizul Ndraha, Budaya Organisasi, Jakarta Rineka Cipta,
2003)
Yusuf Suit dan Almasdi, Aspek Sikap Mental dalam Manajemen
Sumberdaya Manusia, Jakarta: Galia, 1995
Ginanjar Kartasasmita, Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan
Pertumbuhan dan Pemerataan, Jakarta: Cides, 1996
Moeljarto Tcokrowinoto, Pembangunan: Dilema dan Tantangan,
Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996
Ndraha, Pembangunan
Masyarakat: Mempersiapkan masyarakat Tinggal landas, Jakarta: Bina Aksara,
1987
A. Bryant dan LG. White, Manajemen Untuk Pembangunan Negara
Berkembang, Jakarta: LP3ES, 1989
[1] Robbins, Stephan P, Perilaku Organisasi, Jakarta: Penerbit
Indeks Kelompok Gramedia, 2001
Mubyato, Strategi Pembangunan Pedesaan, Yogyakarta: P3PK
UGM, 1984
Tilaar, H.A.R, Pengembangan Sumberdaya Manusia dalam Era
Globalisasi, Jakarta: Grasindo, 1997
Herman Soewardi, Roda Berputar Dunia Bergulir, Kognisi baru
tentang Timbul-Tenggelamnya Sivilisasi, Bandung: Bakti Mandiri, 1999
Kuper, A., Dan Jesica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial,
Jakarta: Penerbit PT. Rajawali Press, 2000
Saifullah Ftah, Pengantar Manajemen Keuangan, Edisi
Pertama, Jakarta: Kencana, 2002
Dydiet Hardjito, Teori Organisasi dan Teknik Pengorganisasian,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997
[1]
Talizul Ndraha, Budaya Organisasi, (Jakarta Rineka Cipta, 2003), hal.
184
[2]
Yusuf Suit dan Almasdi, Aspek Sikap Mental dalam Manajemen Sumberdaya
Manusia, (Jakarta: Galia, 1995), hal. 32
[3]
Ginanjar Kartasasmita, Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan
Pemerataan, (Jakarta: Cides, 1996), hal. 135
[4]
Moeljarto Tcokrowinoto, Pembangunan: Dilema dan Tantangan, (Jakarta:
Pustaka Pelajar, 1996), hal. 95
[5]
Talidzuhu Ndraha, Pembangunan Masyarakat: Mempersiapkan masyarakat Tinggal
landas, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal. 35
[6]
A. Bryant dan LG. White, Manajemen Untuk Pembangunan Negara Berkembang, (Jakarta:
LP3ES, 1989), Hal. 25
[7]
Robbins, Stephan P, Perilaku Organisasi, (Jakarta: Penerbit Indeks
Kelompok Gramedia, 2001), hal. 46
[8]
Mubyato, Strategi Pembangunan Pedesaan, (Yogyakarta: P3PK UGM, 1984),
Hal. 36
[9]
Tilaar, H.A.R, Pengembangan Sumberdaya Manusia dalam Era Globalisasi, (Jakarta:
Grasindo, 1997), hal. 238
[10]
Herman Soewardi, Roda Berputar Dunia Bergulir, Kognisi baru tentang
Timbul-Tenggelamnya Sivilisasi, (Bandung: Bakti Mandiri, 1999), hal. 246
[11]
Talidzuhu Ndraha, Op.Cit, hal. 107
[12]
Ibid., hal. 113
[13]
Kuper, A., Dan Jesica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, (Jakarta:
Penerbit PT. Rajawali Press, 2000), hal. 839
[14]
Kuper, A. Dan Jessica Kuper, Op.Cit., hal. 993
[15]
Saifullah Ftah, Pengantar Manajemen Keuangan, Edisi Pertama,
(Jakarta: Kencana, 2002), hal 6-7
[16]
Dydiet Hardjito, Teori Organisasi dan Teknik Pengorganisasian, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 94-96